Meskipun saya bukan mantan presiden, tetapi saya punya hak untuk merasa prihatin, dan memang hanya sebatas itu saja, tak bisa bertindak kecuali menulis di sini. Relatif tak jauh dari tempat saya mengetik ini, diberitakan ada sebuah desa yang punya kesepakatan dalam empat tahun terakhir ini untuk menolak warga baru yang tidak seagama dengan warga lama. Ini paralel dengan pembangunan kluster khusus untuk umat beragama tertentu. Sementara di belahan bumi lain sana sekelompok warga baru mau menerapkan aturan baru seturut agama warga baru yang mengikat warga lama.😥 Benar-benar kêwowogên agama ya!
Sejauh saya tahu, saudara-saudari saya yang Muslim punya pedoman tiga ranah persaudaraan Islami atau ukhuwah islamiyah (CMIIW): ukhuwah baynal-muslimin (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah/insaniyah (persaudaraan umat manusia). Dari ketiganya itu, yang menunjukkan keluhuran ukhuwah islamiyah terdalam justru adalah ukhuwah basyariyah/insaniyah. Kenapa? Karena dalam ranah itulah nilai Islam teruji sebagai rida Allah bagi seluruh umat manusia, bukan hanya bagi kelompok agama Islam. Itulah yang membuat saya tadi prihatin, bukan karena Islamnya, melainkan karena kedangkalan penghayatan Islamnya, dan itu berarti paralel dengan kedangkalan penghayatan Kristennya, dan seterusnya.
Kedangkalan penghayatan agama, apapun namanya, menyeret orang pada tribalisme: ikatan emosional ditambatkan pada sentimen primordial suku, ras, atau agama.
Loh, bukannya wajar, Rom? Boleh dong kita merasa senasib sepenanggungan dengan orang yang seagama dengan kita?
Lha ya boleh saja, tetapi lihat-lihat ranahnya dong. Kalau itu berkenaan dengan tempat ritual, cara berdoa, dogma, silakan merasakan senasib sepenanggungan itu. Akan tetapi, kalau berkenaan dengan tanah air, ikatan primordial itu mesti diperluas. Kalau tidak kêwowogên agama, gak mungkinlah saya membaptis sungai atau teman saya ustad mengislamkan bukit! Anda membantu orang kecelakaan bukan karena agamanya sama, melainkan karena orang itu memang butuh pertolongan sebagai sesama manusia. Anda ngefans atlet bulutangkis bukan karena agamanya sama, melainkan karena kepiawaiannya bermain bulutangkis sebagai wakil bangsa. Kalau tidak begitu, jangan malu-malu mengakui diri tribal.
Salah satu hal yang saya pelajari dari agama Islam ialah bahwa dalam Islam tak dikenal pemisahan negara dari agama. Tentu saya punya catatan pribadi: supaya meskipun terhubung, tidak dicampuradukkan sehingga ukhuwahnya tadi bisa terbolak-balik. Akan tetapi, poinnya ialah dengan relasi antara negara dan agama, orang diajak supaya yang sakral tidak dicabut dari yang profan, sebagaimana dilakukan negara-negara sekuler.
Poin itulah yang membantu saya membaca teks hari ini. Saya tak ambil pusing bagaimana orang-orang Kristen atau Katolik menafsirkannya untuk kepentingan keyakinannya masing-masing. Akan tetapi, klaim yang disampaikan Yesus dalam teks hari ini, yang bikin sewot dan marah orang-orang Yahudi lainnya, sebetulnya cuma reminder bahwa yang sakral itu senantiasa ada bersama dengan yang profan. “Gusti Allah mbotên saré” bukan soal Allah butuh atau tak butuh istirahat, melainkan bahwa Dia senantiasa hadir bersama semesta. Penciptaan bukan soal Big Bang, melainkan soal bagaimana Dia terus menerus bekerja entah lewat sektor formal atau informal. Prosesnya berlangsung tiada henti.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami senantiasa merawat hati yang senantiasa terpaut pada-Mu. Amin.
HARI RABU PRAPASKA IV
3 April 2019
Posting 2018: Cara Hidup Sukses
Posting 2017: Cinta Ah-Nies
Posting 2016: Mari Menggambar Allah
Posting 2015: No God without Love
Posting 2014: Stay Focused
Categories: Daily Reflection
Nilai beragama membangun Ukhuwah Insaniyah ,ya semoga seperti itu Romo;
LikeLike
Amin, Pak.
LikeLike