Salah satu hal yang saya kurang begitu suka dari orang beragama ialah bahwa mereka [Mereka? Emang Romo bukan orang beragama?🤔] doyan membawa-bawa nama Allah untuk apa saja yang mereka mau, yang belum tentu juga cocok dengan kemauan Allah. Guru dari Nazareth kerap dituduh melanggar hukum ilahi, yang di dalamnya mereka masukkan hukum Sabat. Ya mungkin betul juga hukum Sabat itu hukum suci, tetapi apakah detailnya memang hukum yang benar-benar disuarakan Allah, kan masih perlu dilihat baik-baik.
Kalau saya tidak salah ingat pelajaran zaman jebot dulu, salah satu penulis teks tentang penciptaan adalah kelompok imam. Perspektif penulis bisa saja toh masuk dalam tulisannya? Lha, kelompok para imam ini kan memang butuh waktu istirahat, sehingga dalam seminggu didedikasikanlah satu hari untuk istirahat. Sebetulnya tidak keliru juga mengambil waktu satu hari untuk istirahat dan mengundang orang untuk mengisinya dengan kegiatan rohani. Imam gituloh. Akan tetapi, kenapa mesti menyeret-nyeret Allah juga sih? “Lihat, Allah saja istirahat pada hari ketujuh kok, kita juga dong!”
Guru dari Nazareth tidak setuju, bukan perkara bahwa orang butuh istirahat atau mendedikasikan waktu untuk menjalankan doa tiga waktu atau sembilan waktu. Beliau sendiri mengajak murid-muridnya untuk istirahat. Yang tidak disetujuinya ialah bahwa kebutuhan istirahat itu diproyeksikan sebagai kebutuhan Allah! Apa alasan proyeksi ini kalau bukan demi relasi kekuasaan (religius)? Politik identitas? Butuh legitimasi ilahi supaya orang menurut, tunduk, patuh!
So, Guru dari Nazareth menjungkirbalikkan omongan para pemuka agama itu: Allah yang kusebut Bapa itu bekerja sampai sekarang, jadi apa salahnya aku bekerja?
Itu lebih masuk akal. Andaikan Allah itu istirahat beberapa menit saja, mau jadi apa dunia ini?
Orang beriman, bahkan meskipun secara sadar hidupnya mengabdi Allah, tidak menjalani pilihannya secara heteronom, tetapi sungguh otonom. Dia tidak berbohong bukan karena begitulah bunyi perintah Allah, melainkan karena tahu betul bahwa berbohong itu merusak martabatnya sebagai ciptaan Allah. Seperti Allah punya hidup dalam diri-Nya sendiri, begitu juga anak-anak-Nya, punya hidup dalam diri mereka sendiri, alias otonom itu. Tak perlu proyeksi bahwa Allah butuh pujian ritual, pantang dan puasa, amal manusia, dan seterusnya. Orang beriman cuma perlu mempersaksikan bahwa Allah itu bekerja juga lewat dirinya; bukan malah gabut.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami dapat menemukan makna setiap tindakan pengabdian kami kepada-Mu. Amin.
HARI RABU PRAPASKA IV
17 Maret 2021
Posting 2019: Ukhuwah Insaniyah
Posting 2018: Cara Hidup Sukses
Posting 2017: Cinta Ah-Nies
Posting 2016: Mari Menggambar Allah
Posting 2015: No God without Love
Posting 2014: Stay Focused
Categories: Daily Reflection