Tradire

Published by

on

Tradure est tradire. Menerjemahkan itu mengkhianati. Pernyataan itu ada benarnya karena setiap usaha penerjemahan selalu punya keterbatasan dalam menyertakan konteks asal. Bacaan utama hari ini persis sama dengan bacaan kemarin mengenai perempuan yang digelandang ke tempat Yesus yang sedang mengajar di kompleks Bait Allah di Yerusalem. Posisi guru mengajar adalah duduk, sedangkan mereka yang datang kepadanya tidak ikut-ikutan duduk seperti pengajar, melainkan berdiri. Perempuan yang kena OTT zinah pun tidak dalam posisi duduk mengajar, tetapi berdiri.

Pertanyaan yang disodorkan kepada saya berkenaan dengan bacaan ini ialah apa yang sesungguhnya ditulis Yesus dengan jarinya pada tanah. God knows, tetapi saya lebih tertarik pada keadaan Bait Allah yang tanahnya adalah batu. Ini mengingatkan pembaca pada hukum Allah yang ditulis dalam dua loh batu. Bisa jadi, jika Yesus digambarkan membungkuk dan menulis sesuatu pada tanah dan tak disampaikan apa yang ditulisnya, yang dimaksudkan ialah bahwa Yesus menunjuk batu tempat Allah menuliskan hukum-Nya dan karena dibuat Yesus sebagai respon terhadap desakan orang Farisi dan ahli Taurat, isyarat itu seakan mengundang mereka untuk mawas diri apakah mereka mengingat hukum Allah pada batu atau peduli pada hukum Allah yang dipatri pada sanubari makhluk-Nya. Orang yang sadar akan hal ini menjadi yang pertama meninggalkan gerombolan yang hendak menghakimi pezinah itu.

Yang menarik saya ialah bahwa ketika Yesus didesak untuk menyodorkan pendapatnya, ia ada dalam posisi duduk. Sayangnya, saya tidak punya data primer apakah Yesus ini njuk berdiri (sesuai dengan terjemahan yang kita terima) atau sesungguhnya ia mengangkat kepalanya (tentu gak harus dilepas dari lehernya) alias mendongak ke atas seperti ketika ia mengarahkan pandangannya kepada Zakheus yang bertengger di atas pohon. Tentu saja, Kitab Suci bukan reportase, dan tidak perlu dituntut dengan logika jurnalisme.

Saya pikir, jika Yesus didesak-desak njuk ia bangkit berdiri dari posisi duduk mengajar, itu akan tampak seperti perilaku reaktif orang yang tersinggung atau marah. Saya tidak yakin bahwa Yesus ini marah kepada orang Farisi dan ahli Taurat, betapapun menyebalkannya perilaku mereka. Biar bagaimana juga, Yesus hendak membawa sifat-sifat kerahiman Allah bagi semua orang. Ia mengasihi perempuan yang digelandang dan juga mengasihi mereka yang menggelandangnya. Alhasil, begitulah paham Allah yang disodorkan Yesus sebagai tanggapan terhadap desakan orang banyak “Ini paham Allahku, gimana paham Allahmu?” Ia berkeyakinan bahwa Allah mencintai pendosa, bukan dosa-dosanya.

Konsekuensinya, Allah tidak menghukum manusia (dosa manusia sendirilah yang menghukumnya). Ia tidak akan menyediakan 99 peti mati untuk koruptor plus 1 peti mati untuk dirinya jika Ia korup karena memang Ia tidak korup dan tidak menghendaki 99 umat-Nya korup. Begitulah cinta tak bersyarat: pergilah dan jangan berbuat dosa lagi. Tidak ada kepastian bahwa orang tidak jatuh dalam dosa yang sama, tetapi Allah mencintai umat-Nya dan menghendaki mereka mengerti beratnya konsekuensi yang mesti mereka tanggung akibat dosa itu.

Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk menangkap dan menggumuli cinta-Mu dalam jatuh bangun kami di sini. Amin.


HARI SENIN PRAPASKA V
7 April 2025

Dan 13,1-9.15-17.19-30.33-62
Yoh 8,1-11

Posting 2021: Rapuh
Posting 2020: Till Tomorrow

Posting 2019: Yang Gak Kenal 1998
Posting 2017: Lebih Baik Absen
Posting 2016: Jadilah Anak-anak Terang
Posting 2015: Dasar Koruptor!

Posting 2014: Kemurahhatian Menuntut Pertobatan

Previous Post
Next Post