Nasihat Gamaliel keren abis: jangan gegabah menumpas gerakan (spiritual). Ya kalau gerakan itu memang sesat, kalau bener-bener mediasi Allah yang autentik bagaimana? Malah kita yang melawan Allah dong jadinya (meskipun mengklaim membela kebenaran Allah). Siapa sih tuh Gamaliel? Seorang Farisi, ahli taurat yang sangat disegani pada abad pertama Masehi yang menjadi guru Saulus (kelak Paulus). Nasihatnya berbasis data: ada kelompok-kelompok pembaharuan atau pemberontakan yang menarik begitu banyak orang tetapi cepat atau lambat hancur setelah pemimpinnya mati. Jadi, biarkan saja mereka hidup, nanti kelihatan sendiri apakah kelompok itu memang direstui Tuhan atau tidak. Kalau kelompok itu direstui Tuhan, meskipun pemimpinnya mati, para pengikutnya takkan tercerai berai. Kebaikan senantiasa menemukan orang (baik) untuk merealisasikan kebaikan itu.
Nasihat Gamaliel itu juga bisa diterapkan pada dinamika batin pengikut Yesus: kalau maksud dan perbuatannya mengikuti Yesus Kristus itu berasal dari manusia, tentu akan lenyap alias tidak tahan uji. Ini kelihatan dari peristiwa penggandaan lima roti dan dua ikan untuk kira-kira lima ribu laki-laki (entah berapa perempuannya). Mereka berbondong-bondong mengikuti Yesus dan mengelu-elukan dia, tetapi setelah itu bersuara keras supaya Yesus disalibkan! Kenapa bisa begitu? Karena mereka narsis!!!
Halah, gimana sih, waktu itu kan belon ada kamera selfie, gimana bisa dibilang narsis?! Ya bisa. Soalnya yang mereka lihat bukannya kemuliaan Allah dalam pekerjaan Yesus, melainkan kemuliaan Allah yang memenuhi nafsu tak teratur yang mereka miliki. Hmmm… belum dhonk alias belum paham.
Mari lihat pokok-pokok ceritanya. Orang banyak itu berbondong-bondong mengikuti Yesus karena (dan demi) melihat mukjizat spektakular yang dilakukan Yesus. Motif itu sendiri tidak cukup dan bisa membahayakan. Mengikuti Yesus untuk melihat mukjizat bukanlah indikasi iman yang autentik! (Demikian pula mengikuti Ekaristi untuk menonton khotbah yang atraktif dan menggebu-gebu!)
Yesus bertanya di mana bisa beli makan dan Filipus berkomentar: ha mbok ada warung roti pun di sekitar sini, dua ratus dinar gak bakal bisa mencukupi makan orang-orang itu! Ngeri kan? Satu dinar itu sebuah koin perak untuk gaji pekerja per hari. Jadi, katakanlah, delapan bulan gaji takkan bisa memenuhi makan ribuan orang itu. Andreas memberi alternatif: bukan uang, melainkan makanan yang de facto mereka miliki, lima roti dan dua ikan. Lha sumonggo dibayangkan bagaimana itu mau dibagikan untuk lima ribu orang: mungkin seorang dapat sebutir telur ikan yang sedang hamil! (Ikan kok hamil) Ha njuk piye kenyangnya?!!! Tidak mungkin, tidak mungkin. Ternyata, ini insight lama, kalau modal itu disatukan dengan ucapan syukur Yesus dan pemecahan roti untuk dibagi-bagikan, mukjizat terjadi. Keterbatasan diri yang diserahkan pada kekuatan Allah ternyata benar-benar memberi solusi.
Apakah lima ribu orang itu kenyang? Kenyang! Terbukti masih ada sisa makanan. Tetapi, yang kenyang baru perutnya! Muncul problem baru yang asalnya juga dari motif mereka mengikuti Yesus tadi. Tak puas mereka melihat dan mengalami sendiri mukjizat dari Allah itu, mereka ingin menjadikan Yesus sebagai raja! Yesus dalam arti tertentu dengan mukjizatnya gagal membawa orang banyak untuk melek pada kemuliaan Allah. Mereka tak puas dengan aneka hal yang spektakular, dan senantiasa ingin yang spektakular itu tinggal bersama mereka. Itulah narsis: memelihara kepentingan sendiri entah dengan uang, kekuasaan, dengan kedok agama, kebangkitan rohani atau apalah…..
JUMAT PASKA II
17 April 2015
Posting Tahun Lalu: Determinasi Orang Rendah Hati
Categories: Daily Reflection
2 replies ›