You’ll Never be Perfect!

Bacaan pertama hari ini mengantisipasi suatu sistem subsidi silang: kelebihan yang kaya dipakai untuk menutup kekurangan yang miskin. Jemaat Kristen awal rupanya memang sudah menghidupi hal itu. Paulus memberi nasihat kepada jemaat di Korintus supaya mengingat bagaimana jemaat miskin di Makedonia begitu murah hati memberikan bahkan sumbangan yang dapat membantu jemaat lain (di Yerusalem). Kalau mereka yang miskin saja bisa memberi sumbangan ‘tak terduga’, kiranya lebih lagi jemaat kaya di Korintus. Model subsidi silang ini tak dimaksudkan untuk meringankan orang yang disumbang supaya mereka bisa berleha-leha. Mereka tetaplah bekerja keras sebagaimana jemaat di Makedonia.

Subsidi silang diterapkan supaya ada keseimbangan: Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan. (2Kor 8,15). Di balik prinsip ini ada pengakuan bahwa kemiskinan tidak semata-mata disebabkan oleh kemalasan orang miskin (meskipun dijumpai aneka fakta bahwa orang miskin itu malas; Paulus tidak mendapatinya pada jemaat miskin di Makedonia). Selain itu, digarisbawahi juga bahwa kemurahan hati tak bisa diukur dengan cara pandang keadilan manusiawi. Ini adalah cara pandang dan cara bertindak Kristus sendiri.

Yesus tak pernah meminta pengikutnya untuk menjadi manusia sempurna. (Apa ada itu manusia sempurna selain sebagai klaim?) Kesempurnaan yang dimaksud Yesus pasti juga bukan kesempurnaan dalam cara pandang manusiawi tadi. Ini adalah soal kesempurnaan sebagai anak-anak Allah dan ini juga bukan soal relasi untuk mendapatkan status anak Allah, melainkan soal menjadi pribadi yang merefleksikan atau mencerminkan sifat-sifat ilahi, dan memang itulah arti idiom ‘anak Allah’ dalam bahasa semitik.

Karena itu, ungkapan ‘Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna’ (Mat 5,48 ITB) juga tak bisa direduksi dengan tolok ukur manusiawi. Ini adalah soal menyatukan diri dengan Allah Bapa dan kesatuan ini sama sekali bukan kesatuan mistis-magis, melainkan kesatuan yang dimungkinkan karena orang peka terhadap dunia interior, dunia batinnya. Semakin orang masuk ke kedalaman dirinya, semakin ia terbebas dari obsesi untuk memenuhi kriteria-kriteria kesempurnaan manusiawi. Orang macam ini tak dibebani oleh keterbatasan atau kerapuhan manusiawinya. Fokus pada hal-hal itu mengindikasikan bahwa yang disasarnya adalah kemuliaan dirinya. Padahal, prinsip dasar hidup ini jelas: AMDG.

So, fokus kesempurnaan umat beriman bukanlah kekhawatiran akan kelemahan dan kerapuhannya. Takkan pernah manusia jadi sempurna. Kekuatan Allah jauh lebih besar dari kesempurnaan manusiawinya, maka cukup ia mengusahakan kesatuan dengan Allah, yaitu dengan merealisasikan Sabda-Nya dalam hidup (pengandaiannya: ia membaca Sabda Allah itu). Ini soal cara bertindak seturut Sabda Allah, bukan soal asesoris-asesoris atau aneka achievement dalam memoles kepribadian kita.

Semoga kami boleh menjadi mukjizat-Mu, ya Allah.


SELASA MASA BIASA XI B/1
16 Juni 2015

2Kor 8,1-9
Mat 5,43-48

Posting Tahun Lalu: Doakanlah…

1 reply