Agama Racun

Dulu sekali, ketika masih imut-imut dan amit-amit, saya pernah menderita sakit mental karena racun agama [kirain racun tikus, Rom]. Racun itu bekerjanya senyap. Tahu-tahu, di otak belakang-depan-kanan-kiri saya itu sudah menyebar dan apa-apa saja yang saya lihat itu ujung-ujungnya mesti agama dan orientasinya jelas: agama saya itu agama terbaik di seluruh jagad. Sakit mental itu memang kentara dalam pola saya berpikir dan melihat apa saja: mesti dihubungkan dengan agama, seakan-akan semua aspek hidup ini mesti dihubungkan dengan agama, agamanya sendiri pula!

Konyol-konyol pula akibat sakit mental itu. Kalau melihat berita mengenai orang berprestasi atau orang populer, saya selalu berharap orang itu seagama dengan saya. Kalau ternyata tidak, kecewalah saya dan tak lagi mengagumi orang hebat itu karena tak seagama dengan saya. Kalau menonton berita mengenai kejahatan, saya senantiasa memastikan bahwa penjahatnya bukan orang yang seagama dengan saya. Begitu juga kalau ada musibah, saya antusias kalau yang terkena musibah itu orang yang beragama lain! Konyol, bukan?

Tapi saya sudah sembuh dari penyakit mental macam itu [makanya saya boleh jadi pastor, hahaha], penyakit orang yang kurang PD dan tak bosan-bosannya hidup dalam ilmu perbandingan diri. Sewaktu menderita sakit karena racun agama itu, saya belum ngeh soal ungkapan compare despair. Tanpa sadar saya hidup dalam sekat agama yang malah meracuni saya. Saya curiga, racun agama itu juga sekarang masih menyebar ke sana kemari, dan hebatnya, racun ini bisa bekerja seperti bus AKAP, antarkota antarprovinsi: merasuk ke agama ABCDE.

Kalau racun itu bisa bekerja melampaui sekat, mestinya penawarnya juga melampaui sekat. Apa penawar racun agama yang bisa melampaui sekat-sekat orang berpenyakit mental itu? Ya apa lagi kalau bukan kabar gembira dari Allah yang sesungguhnya? Maksud Romo, Sabda Allah? Betul. Berarti kitab suci agama-agama dong, nanti ujung-ujungnya sekat agama lagi dong? Salah. Sabda Allah yang sesungguhnya ialah substansi yang hendak diacu oleh kitab-kitab suci agama ABCDE itu. Kok mbingungi sih, Rom? 

Mari lihat teks hari ini. Bacaan kedua mengisahkan warta gembira yang melampaui sekat agama, yaitu bahwa Yesus bekerja juga di wilayah pagan alias orang kafir. Ia membebaskan orang dari kerasukan Legion tetapi bukan supaya orang itu kemudian bertobat dan mengikutinya jadi seperti orang-orang Yahudi. Bahkan ketika orang itu mengutarakan niatnya untuk mengikuti Yesus, Yesus menolaknya. Sakitnya tuh di mana?

Penolakan itu juga dikisahkan dalam bacaan pertama. Abisa, orangnya Daud, dalam pelarian mereka dari kudeta Absalom, sangat sewot karena Simei yang terus menerus mengutuki Daud. Ia minta mandat dari Daud untuk menghabisi Simei. Apa kata Daud? Sudahlah, kalau memang kutukan itu berasal dari Allah, kita mau apa? Kita ini cuma bisa tobat mohon ampun atas kedurhakaan kita dan syukurlah kalau karenanya Tuhan memberikan hidayah-Nya. 

Daud bahkan merelativisasi hidupnya sendiri di hadapan Allah. Yesus memperluas kriteria kemuridan: bukan soal bahwa orang mesti ikut cara dia, melainkan soal mewartakan apa yang dibuat Allah kepadanya. Fokus keduanya adalah karya Allah, bukan agama, dan setiap orang punya hidayah-Nya masing-masing, suatu personal vocation untuk mewartakan keagungan Allah. Amin.


SENIN BIASA IV B/2
29 Januari 2018

2Sam 15,13-14.30; 16,5-13a
Mrk 5,1-20

Posting Tahun A/1 2017: Penistaan Babi
Posting Tahun C/2 2016: Yang Haram Memang Enak