Passport to Heaven

Pernah terjadi dalam panggung sejarah bagaimana orang Kristiani punya misi arogan untuk membuat dunia ini jadi Kristiani karena katanya di luar dunia Kristiani itu tak ada keselamatan. Mungkin masih ada sisa-sisanya, yaitu mereka yang menganggap agama Kristiani lebih baik daripada yang lainnya.

Tendensi seperti itu juga bisa hidup dalam lingkungan agama lain: ada tahapan ketika orang beragama menganggap agamanya lebih baik daripada agama lain. Tentu, ngapain juga orang memeluk agama tertentu kalau agama itu tidak dianggapnya lebih baik, bukan? Ini wajar. Baru jadi gak wajar ketika orang yang mengklaimnya tak sadar bahwa klaimnya bersifat relatif, bergantung pada subjektivitas orang yang mengklaim. Artinya, agama tetot lebih baik dari agama lain seturut pemeluk agama tetot; sedangkan agama tutut lebih baik dari agama lain seturut pemeluk agama tutut.

Saya tidak hendak membuat klaim subjektif seperti itu, tetapi juga tidak berpretensi melakukan klaim objektif (seakan-akan memang ada agama yang lebih baik dari agama-agama lain). Saya hanya ingin menganalisis dinamika internal dalam agama yang saya hidupi dan barangkali bisa dilihat juga dinamika yang sama dalam agama lainnya.

Teks yang disodorkan hari ini, yang memang tidak membahas agama, mengasumsikan suatu misi kekristenan yang tidak ditujukan kepada orang atau kelompok agama lain, tetapi pada diri sendiri, ke dalam diri sendiri. Imaji yang dipakai adalah garam dan terang. Mengenai garam sudah diulas pada posting-posting sebelumnya. Mengenai terang barangkali bisa diambil batu bara yang dipakai pandai besi untuk membentuk logam, atau yang lebih umum deh: arang. Apa gunanya arang yang tak bernyala memberi terang dan kalor? Ya bisalah untuk corat-coret atau sebagai pengganti norit.

Akan tetapi, kegunaan yang demikian itu kan di luar peruntukan yang sesungguhnya dari si pembuat arang. Saya kok yakin bahwa penemu atau pembuat arang itu memproduksi arang bukan untuk grafiti atau kopi jos, sebagaimana tusuk sate dibuat bukan sebagi peranti tusuk gigi orang. Beragama, dengan demikian, kiranya seperti arang yang menyala-nyala seturut peruntukannya. Ia tidak produktif manakala tak bernyala, tak membara, tak memberi terang. Dalam hal ini, entah besar entah kecil, arang itu tak bernilai karena nilainya bergantung pada seberapa jauh ia membara, memberi kalor, memberi terang bagi yang lainnya. 

Beragama secara sungguhan semestinya adalah upaya membiarkan terang kebenaran, cinta, keadilan bernyala-nyala. Maka, problemnya bukan agama lain sebagai ancaman, melainkan agama sendiri yang mêjên atau tumpul dalam menebarkan kebenaran, cinta, dan keadilan itu di hadapan Allah dan sesama. Agama yang demikian kehilangan privilesenya untuk memberikan paspor ke surga. Kata Paus yang sekarang ini, paspor ke surga itu wujudnya adalah orang-orang miskin (bukan orang-orang yang berlagak miskin), yang di mata dunia tak bernilai, tetapi dari merekalah orang beragama bisa memperoleh paspor ke surga itu. Kok isa? Tanyakan saja kepada beliau atau carilah jawabannya sendiri, mosok saya dah teler ujian masih ditanyai terus, gak kasihan po? Hahaha…

Ya Tuhan, mohon rahmat kekuatan supaya hidup kami sungguh berdampak baik bagi kesejahteraan bersama. Amin.


SELASA BIASA X B/2
12 Juni 2018

1Raj 17,7-16
Mat 5,13-16

Selasa Biasa X A/1 2017: Agama Hambar
Selasa Biasa X C/2 2016: Hidup Kebangeten
Selasa Biasa X B/1 2015: Urip Selo

Selasa Biasa X A/2 2014: Jangan Jadi Garam Dunia!

2 replies

  1. Halo romo

    Sya sebenarnya ngga tahu agama apa yang paling baik (sebenere ngga mau tahu juga), hanya ingin meng”copas”, pendapat seorang Kiai Haji yang tinggal di jawa bagian utara.. beliau berpendapat “seorang yang beragama(pemuka agama) yg baik tidak di tentukan dari seberapa dia hafal dan menguasai kitab sucinya (alquran atau hadist) kalo gitu aja laptop bisa juga melakukan,, tetapi bagaimana dia mengamalkan tuntunan agamanya dan mencontoh teladan Sang Nabi,, menuju yang ilahi tentunya,, menurut saya tentu ini berlaku bagi siapa saja yang mengaku beragama,, dan kelihatannya pendapaf sang Kiai ini hampir sama sperti postingan romo,, semoga yang membaca postingan romo dan mungkin juga mendengar pendapat Kiai tsb semakin faham bagaimana “beragama” itu… Matur Nuwun nggih Romo Setyawan.. berkah dalem..

    #kiai Haji Mustofa Bisri.

    Like