Mengenai relasi iman dan mamon sudah dibahas dalam posting Iman Aman Amin. Orang yang hidupnya tak tenang dan susah merasa aman bisa jadi juga kurang beriman karena kurang bisa mengamini penyelenggaraan ilahi. Bersamaan dengan itu, kekhawatiran dan ketakutan bisa mendominasi sikap dasarnya. Sebaliknya, sikap dasar orang beriman adalah kemerdekaan batin yang melepaskan dirinya bahkan dari ketakutan masuk neraka! (Lha nek pancen Gusti Allah arep nglebokke aku nang neraka njuk ngapa?) Kenapa? Karena orang beriman ini mengutamakan kehendak Allah, termasuk kalau Allah menghendakinya masuk neraka. Berita baiknya, Allah tak menghendaki orang masuk neraka, maka Dia memberi rambu-rambu bagaimana caranya orang hidup dalam suasana surgawi. Cuma ya tidak semua orang beragama melihat berita baiknya.
Kenapa ya orang beragama tak melihat berita baik itu? Saya tak tahu. Dugaan saya sih karena orang beragama punya tendensi jadi seperti freezer alih-alih kulkas. Biasanya orang menyimpan minuman ringan atau minuman lembut (softdrink itu terjemahannya apa sih?) pada bagian kulkas untuk mendinginkannya, bukan untuk membekukannya pada freezer. Akan tetapi, orang beragama punya tendensi menyimpan kaidah agamanya pada feezer alih-alih menyegarkannya dalam kulkas. Halah Romo ini, kaidah agama kok disimpan di kulkas; kaidah agama itu ya disimpan di hati. Ha lha iya itu maksud saya, hatinya berfungsi lebih sebagai freezer daripada kulkas sehingga kaidah agamanya bukannya jadi cair segar melainkan beku.
Itulah yang disebut sebagai formalisme dan legalisme. Rambu-rambu agama itu ya tentu baik, diperlukan untuk hidup orang. Persoalannya bahwa rambu-rambu bisa jadi idol atau berhala sedemikian rupa sehingga orang beragama bisa mengorbankan apa saja: waktu, tidur, afeksi, rekreasi, pertemanan, hidup bertetangga, kemanusiaan, dan seterusnya. Apakah formalisme dan legalisme itu cuma tendensi orang beragama sehingga yang bisa menyembah berhala cuma orang beragama? Tidak. Orang yang tak percaya akan Allah malah eksplisit membangun formalisme itu, yaitu jika dia berkubang dalam ateisme.
Kalau cuma tak percaya Allah eksis itu mah tak jadi masalah berat. Orang beragama dalam tahap hidup beragamanya bisa mengalami krisis yang membuatnya tak percaya bahwa Allah itu ada, tetapi itu tidak semerta-merta membuatnya berideologi ateisme. Dia hanya belum yakin mengenai cara eksisnya Allah. Baru jika selepas krisis dia menutup setiap ruang pemahaman mengenai eksistensi Allah, dia membuat formalisme paham ideologisnya yang tak lain adalah ateisme, yang malah jadi tak aplikatif untuk hidup yang kompleks dan multidimensional. Paham ora, Son? Ora? Ya wis, mung takon kok.
Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati dan budi supaya kami tidak jatuh pada agama yang membekukan hidup kemanusiaan kami. Amin.
SABTU BIASA XI B/2
23 Juni 2018
Sabtu Biasa XI C/2 2016: Tak Ada Tuan Selain Mamon
Sabtu Biasa XI B/1 2015: Sampah ‘Pecinta’ Alam
Sabtu Biasa XI A/2 2014: Mau Golput Lagi?
Categories: Daily Reflection