Ziarah Aja

Hari ini saya mengawali perjalanan ziarah ke Tanah Suci. To tell the truth, karena cuma ikut sebagai anggota rombongan tur, saya tidak merasa begitu antusias (jumlah pesertanya jadi banyak), juga karena Tanah Suci itu bagi saya tidak identik dengan Timur Tengah, selain karena mesti meninggalkan montor kesayangan di garasi. Andaikan saja ziarah dibuat dengan montor itu, mungkin lain soalnya, eaaaa…

Tujuan pertama ziarah adalah Bandara Soekarno Hatta. Anda pasti tak tahu ada apa di sini. Saya juga tidak, tetapi memang pesawat yang saya tumpangi berangkatnya dari sini, mau gimana lagi. Semestinya enam jam saja saya di sini, dan daripada cerita ada apa dengan enam jam itu, lebih baik saya melihat teks bacaan hari ini dan sekilas sosok yang diperingati Gereja Katolik, yang bernama Alfonso. Dengar-dengar, dia ini cukup getol melawan pengaruh Yansenisme yang sangat rigor (dan biasanya dipertentangkan dengan Yesuit yang bertendensi laksis sehingga dituduh sak pénak wudêlé dhéwé, tapi tak usah dibahas di sini, ntar dikira saya mau membela diri, eaaa).

Yansenisme dalam Gereja Katolik termasuk bid’ah karena mengajarkan bahwa tubuh manusia itu jahat adanya dan keselamatan yang dibawa Yesus dari Nazareth itu cuma berlaku untuk orang-orang pilihan alias tidak universal. Pengaruh Yansenisme ini tidak main-main, bahkan mungkin sampai sekarang juga hidup di kalangan agama mana pun yang mengimani Allah Sang Pencipta. Apa bahayanya?

Yang gampang-gampang aja: paham Allah yang ditawarkannya adalah paham Allah sebagai monster yang menakutkan. Orang tua melakukannya dengan menakuti anak-anak mereka: kalau nakal, berbohong dimarahi Tuhan; kalau tidak mau makan nanti dihukum Tuhan; kalau berdosa nanti dimasukkan Tuhan ke neraka, dan seterusnya. Singkatnya, orang beragama membangun identitas dirinya ‘di luar Allah’, seakan-akan Allah yang sempurna itu terpisah dari tubuh kotor manusia. Penghayatan iman yang begini menjadi sangat rigid dan statis. Sudah jelas hukumnya begitu. Takdirnya ya begitu itu. Logikanya begitu itu.

Alfonso mewartakan iman yang dinamis, iman sebagai peziarahan hidup yang terbentang antara rigorisme (harus begini atau begitu) dan laksisme (gak gini atau gitu juga gak papa). Saya setuju dengannya karena memang Dia yang saya imani juga bukan sosok pribadi diktator kaku (harus ikut aku sedetil-detilnya) atau pemimpin laissez-faire (sudah terserah maumu bagaimana). Dia yang diimani guru dari Nazareth itu seperti harta terpendam atau mutiara berharga dalam bacaan hari ini: seluruh kepunyaan orang pantas dijual untuk mendapatkan-Nya karena Dia jauh lebih berharga dari apapun yang bisa dimiliki orang.

Itu mengapa orang beriman perlu mawas diri apakah pilihan-pilihan hidupnya berada dalam tegangan rigorisme-laksisme tadi atau sudah lekat pada salah satunya. Kalau hal kedua yang terjadi, bisa jadi ia tidak lagi hidup beriman, tetapi malah membuat freezing religions. Bukan gue banget! Orang yang beragama sungguh, ia suka ziarah, tetapi bukan sebagai kewajiban, melainkan sebagai cara hidup dinamis untuk mengalami perjumpaan dengan mutiara berharga atau harta terpendam itu.

Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami seluruhnya adalah ziarah untuk menemukan jejak-jejak-Mu dalam hidup kami. Amin.


RABU BIASA XVII B/2
Peringatan Wajib S. Alfonsus Maria de Liguori (CSsR)
1 Agustus 2018

Yer 15,10.16-21
Mat 13,44-46

Rabu Biasa XVII A/1 2017: Bahagianya Melayani
Rabu Biasa XVII C/2 2016: Monggo, Silakan
Rabu Biasa XVII A/2 2014: Happy Kok Maksa