Kemarin tetangga saya mengambil nomor urut. Dapatnya nomor satu. Titik. Kalau ingat Via Vallen, lalu itu adalah soal fokus satu titik. Lha titiknya apa, terserah Anda. Pokoknya satu. Kalau Anda memilih selain satu, Anda tidak melawan saya, tetapi melawan kepentingan bersama, alias kepentingan Anda sendiri juga, eaaaaaaa…. kampanye dimulai…. besok.
Teks hari ini tidak bicara mengenai kampanye, meskipun mengampanyekan sesuatu. Sesuatu itu adalah Firman Allah, Sabda Allah, Wahyu Allah, atau apalah sebutannya. Akan tetapi, akan tetapi, akan tetapi… mohon tidak mengidentikkan Firman Allah itu sebagai sesuatu yang fix, betapapun suci julukannya. Hari gini gituloh. Zamannya sudah aneka post (-kolonial, -modern, –truth) mosok masih memercayai bahwa Sabda Allah terbatas ruang-waktu. Saya tidak sedang bicara doktrin agama. Kalau itu jelas: Sabda Allah dalam tradisi Kristiani adalah Yesus Kristus, dalam Yudaisme adalah Kitab-kitab Musa, dan dalam tradisi Islam adalah Alquran. Itu semua memuat dimensi fisik yang membatasi apa yang tak terbatas.
Teks bacaan pertama mungkin bisa jadi contoh untuk mengerti (janjané saya pikir sih Anda sudah paham, tapi gak apalah demi 500 kata). Paulus menilik persoalan kebangkitan badan: kalau nanti saatnya tiba, badan mana yang dibangkitkan? Badan sewaktu bermuka kodok atau bermuka badak? Badan semasa berkulit mulus atau keriput? Orang Kristiani punya preseden yang dipercayainya: tubuh Yesus yang bangkit dari mati, katanya masih ada bekas-bekas luka sewaktu penyaliban. Piye jal selain menjawab pertanyaan seperti itu dengan God knows alias ya mboh?
Paulus menjawabnya dengan membuat distingsi antara tubuh alamiah dan tubuh rohani. Kalau orang omong soal kebangkitan badan, badan rohaninyalah yang dibangkitkan. Itu juga gak jelas kan maksudnya? Betul, tetapi dia memakai perumpamaan tentang benih juga, seperti dipakai dalam bacaan kedua, tetapi dengan penjelasan berbeda. Anda tidak menaburkan pohon mangga supaya kelak jadi pohon mangga lainnya. Yang ditaburkan adalah benih atau biji, yang dilepaskan dari pohonnya yang masih hidup. Dengan kata lain, biji itu mati dari pohon yang menghasilkannya. Akan tetapi, ternyata justru setelah kematiannya, biji itu bisa mewujudkan potensinya untuk menghasilkan pohon baru.
Itulah yang dimaksud Paulus: yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang terjadinya ya berdasarkan proses alamiah dengan mekanisme yang bisa diukur secara saintifik, tetapi yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah, yang di dalamnya tertanam Firman Allah. Perlu decoder untuk memahaminya tetapi decoder itu rupanya tidak tunggal. Agama semestinya menawarkan decoder tetapi tidak dengan mentalitas monopoli. Ia mesti connect juga dengan decoder lain supaya Firman Allah, yang semestinya universal, karena katanya Maha Esa, itu bisa tertangkap oleh semakin banyak orang.
Asumsinya: setiap agama mesti fokus pada satu titik, meskipun ada bersama agama lain, dan, sekali lagi, satu titik itu adalah Firman Allah, bukan aturan agama, ritual agama, tradisi agama, dan apa lagilah agama. Ini sama sekali tidak berarti meremehkan signifikansi agama. Sebaliknya, pluralitas agama penting supaya Sabda Allah itu bisa lebih baik lagi berbicara kepada semakin banyak orang.
Tuhan, bantulah kami supaya tetap fokus pada satu itu: sabda-Mu. Amin.
SABTU BIASA XXIV B/2
22 September 2018
1Kor 15,35-37.42-49
Luk 8,4-15
Sabtu Biasa XXIV A/1 2017: Agama Heuristik
Sabtu Biasa XXIV C/2 2016: Iman Copy Paste
Sabtu Biasa XXIV B/1 2015: Agama Yang Lebih Baik?
Sabtu Biasa XXIV A/2 2014: Receptive Heart
Categories: Daily Reflection
Mantap pak, terima kasih pak
LikeLike
Sama2 Om
LikeLike