Orang beragama itu kerap kali mengatakan bahwa hidup di dunia ini cuma mampir, entah mampir untuk apa, pokoknya mampir saja, tak selama-lamanya hidup di dunia ini. Lain waktu dikatakannya mengenai anak sebagai titipan Tuhan dan di kesempatan lainnya meyakini bahwa hidup ini amanah dari Allah. Akan tetapi, ya begitulah, namanya juga cinta palsu: lain kata, lain perbuatan.
Celakanya, seorang kawan mengirimkan sampul majalah Jerman ini:
Kenapa ‘celaka’, wong gak sampai nabrak rombongan presiden? Ya sebetulnya memang bukan celaka sih, malah jadi der Spiegel betulan alias cermin apakah hidup orang beragama itu memang mengikuti perintah Du sollst nicht lügen atau tidak. Sampul majalah ini memang ambigu, soalnya saya tidak bisa membaca isinya: itu pesan kepada atau dari Paus Fransiskus. Amannya sih dua-duanya: Paus diminta supaya tidak berbohong dan sekaligus meminta supaya koleganya juga tidak berbohong. Cerdiknya, irit omong tidak sama dengan berbohong, dan ini tentu menjengkelkan bagi lembaga penyelidik atau media investigasi seperti Der Spiegel.
Menurut Der Spiegel, Paus dan Gereja Katolik sekarang ini sedang mengalami krisis besar berhubung dengan aneka pelecehan seksual terhadap anak-anak dan orang dewasa rentan yang sekian lama dipendam alias luput dari publikasi. Saya membacanya dalam terang kesadaran media (sudah saya tulis empat tahun lalu pada posting ini): Paus dan Gereja Katolik memang paling lezat dijadikan santapan, apalagi pas boroknya kelihatan, seakan-akan hanya borok itulah yang ada di dunia ini. Kenapa lezat ya? Tentu saja karena bisa menghasilkan duit! Beberapa lembaga Gereja Katolik bangkrut untuk menangani kasus seperti yang diinvestigasi oleh Der Spiegel itu (meskipun kasus serupa terjadi juga di luar lembaga Gereja).
Njuk apa hubungannya dengan bacaan hari ini je, Rom, kok malah ngegosip sih? Loh, sing nggosip ki ya sapa! Judul majalah tadi memang berhubungan dengan bacaan hari ini: jangan berdusta, karena berdusta itu mencemari kemurnian Sabda Allah. Kok bisa mencemari? Karena kalau orang berbohong, fokus perhatiannya bergeser, bisa menambah atau mengurangi kenyataan Sabda Allah itu. Itu mengapa bacaan kedua juga punya pesan yang sejalan: kebaskanlah aneka kelekatan selain kepada hal yang membantumu untuk mewartakan Kabar Gembira itu.
Narasi penugasan murid dalam bacaan hari ini berbeda dari narasi tiga bab sebelumnya yang memperhatikan masing-masing individu yang dipanggil untuk penugasan itu. Bacaan hari ini menunjukkan tugas kolektif atau tugas yang dijalankan sebagai misi bersama Allah. Tak ada istilah “tugasku” atau “misiku” karena manusia ini cuma kolaborator misi Kabar Gembira Allah sendiri. Sebagai kolaborator itu, orang beragama, mau tak mau mesti terus berdialog, berdinamika dengan siapapun atau apapun supaya Warta Gembira itu terealisasi, bukan malah giat mengedepankan agenda pribadi dengan mencatut ideologi besar atau bahkan mencatut nama Allah sendiri.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya hidup kami tak mencemari Sabda-Mu. Amin.
RABU BIASA XXV B/2
26 September 2018
Rabu Biasa XXV A/1 2017: Simple is Better, Hopefully
Rabu Biasa XXV B/1 2015: Traveling Light
Rabu Biasa XXV A/2 2014: Apa Yang Terpenting?
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.