Anda masih ingat seminggu lalu ada orang yang mendapatkan mobil seharga 700-an juta dengan hanya membayar dua belas ribu rupiah [jangan-jangan memang harga sesungguhnya dua belas ribu rupiah ya… karet penutup pentilnya #ehadapentilnyagaksih]. Terkejut karena kemungkinannya mendapat objek cuma sepersejutaan dan gembira karena rezeki nomplok. Saya tak tahu ungkapan kegembiraannya bagaimana (tetapi syukurlah sepertinya hadiah itu dijualnya kembali, alih-alih dipakainya sendiri karena sadar diri tak mampu membayar pajak mobil yang tinggi). Andaikan dia seniman, ungkapan itu mungkin terlihat dalam puisi atau komposisi lagu atau gambar komik atau apalah. Coba kalau Anda punya teman seniman, tanyakanlah padanya, apa jadinya jika dua hati berjumpa dalam cinta dan salah satu hati itu belongs to teman seniman Anda. Ia mungkin akan menuangkannya dalam suatu lagu yang liriknya mungkin jadi aneka pujian terhadap hati lainnya.
Hari ini disodorkan lagu pujian kegembiraan Maria. Menang lotrekah ia? Tidak, meskipun kemungkinannya mendapat ‘objek’ cuma sepersekian juta dan ia tidak mengeluarkan sepeser uang pun untuk tebus murah. Tak ada tebus murah untuk kehamilannya. Ia menebus kehamilan itu seumur hidupnya akan tetapi ia mulai menebusnya dengan pujian kegembiraan. Apakah ia gembira lantaran bertemu dengan saudaranya, Elisabet? Tentu saja, ia gembira berjumpa dengan Elisabet, tetapi dari lagu pujiannya terlihat jelas bahwa alasan kegembiraannya yang terutama bukan bahwa Elisabet menyanjungnya.
Kegembiraan Maria adalah cerminan bahwa sense of belonging Maria ini meluas: ia merujuk pada pihak ketiga dalam perjumpaannya dengan Elisabet. Ia mendapati dirinya sebagai bagian dari kebesaran Allah dalam hidupnya. Kalau orang menyadari bahwa cinta Allah itu sungguh akbar, ia akan bergembira dalam Roh. Penemuan cinta Allah yang besar itu menyingkirkan ketakutan dan kalau ketakutan ini tersingkir, orang sungguh jadi merdeka dan hanya orang merdekalah yang bisa menampilkan diri apa adanya, tak terblokade oleh aneka macam prasangka kecemasan atau kekhawatiran. Maria percaya penuh bahwa kerendahannya tidak jadi hambatan Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Artinya, kerendahhatian Maria juga tidak terletak pada pencitraannya untuk merendah-rendahkan dirinya “Ah saya ini kan cuma hamba Tuhan”. Tidak pakai “cuma”! Ya inilah biang yang bisa bikin penyakit orang selain yang kemarin saya sebut sebagai hasrat posesif. Apa saja mau dilihat dalam kerangka kepemilikan. Bolehlah kita berbangga saham 51% dimiliki Indonesia, baru kali inilah negara berani menentang terang-terangan eksploitasi asing terhadap tanah Papua. Akan tetapi, poin pentingnya bukan kepemilikan sahamnya sendiri, melainkan bagaimana resources itu memang sungguh menyokong hidup Papua-Indonesia-dunia secara lebih adil.
Kerendahhatian Maria terletak pada pengenalan dirinya apa adanya sebagai makhluk yang contingent terhadap kekuasaan Allah yang absolut. Tak sedikit orang yang takut mengakuinya dan dampak ketakutan ini malah tampak dalam seruannya untuk mengintimidasi (Indonesia punah-runtuh-ambruk, misalnya), melakukan teror, bahkan sampai hati memecah belah warga yang sudah hidup baik-baik. Ini bukan sikap takut akan Tuhan, yang disinggung dalam pujian Maria, melainkan takut akan tanggung jawab atau konsekuensi atas pengakuan diri sebagai hamba Allah Yang Mahabesar itu.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat membebaskan diri dari aneka ketakutan yang memblokade hidup kami sebagai pujian kemuliaan-Mu. Amin.
HARI KHUSUS ADVEN
Sabtu, 22 Desember 2018
Posting 2017: Nobody Loves Me
Posting 2016: Tan Telolet Tan
Posting 2015: Mahmud Bergiranglah
Posting 2014: Joged karena Bayi Tabung?
Categories: Daily Reflection