Adakah hal yang harus Anda lakukan untuk mendapat warisan dari orang tua kandung Anda? Membelikan hadiah mobil mewah kepada mereka? Menyelesaikan setudi S2 atau S3 Anda [dan tetangga saya nyeletuk “S satu aja dah bikin pilek”] sebelum mereka meninggal? Memberikan cucu kepada orang tua Anda? Mengumrohkan mereka? Mengajak mereka keliling dunia? Saya kira tidak, karena warisan adalah hak, bukan kewajiban. Orang sepakat bahwa dalam kondisi wajar, Anda jadi ahli waris orang tua Anda semata karena Anda adalah anak orang tua Anda, kecuali orang tua Anda memutuskan sesuatu yang berbeda dalam surat wasiatnya. Maka dari itu, Anda justru wajib melakukan sesuatu untuk melepaskan diri dari status ahli waris, bukan sebaliknya.
Teks bacaan hari ini menyodorkan pertanyaan orang muda yang dalam terjemahan Indonesia dirumuskan begini: apakah yang harus kuperbuat untuk mewarisi hidup abadi?
Ini sejajar dengan pertanyaan paragraf pertama tadi, dan dengan demikian, jawabannya juga serupa. Anda tak harus melakukan apa-apa untuk mewarisi hidup abadi. Dengan kata lain, terserah Anda mau melakukan apa saja, hidup abadi itu warisan yang Anda berhak mendapatkannya, bukan wajib mengusahakannya.
Woooo, jadi orang terserah mau hidup kayak apa gitu, Rom, karena hidup abadi itu haknya?
Sik, sik, sik, Anda itu kok kalau menarik kesimpulan lucu sih? Kalau hidup abadi itu hendak dianalogikan sebagai warisan orang tua Anda, bukankah tadi sudah saya katakan: Anda jadi ahli waris orang tua Anda semata karena Anda adalah anak orang tua Anda, kecuali orang tua Anda memutuskan sesuatu yang berbeda dalam surat wasiatnya? Ini bukan soal terserah mau hidup kayak apa, melainkan bahwa kepemilikan warisan tadi tidak ditentukan oleh jungkir baliknya Anda untuk memperolehnya. Status Anda sebagai anak kandung itu sudah cukup. Memang, pewaris bebas membuat surat wasiat dan bisa memberikan warisan kepada siapa pun yang dia kehendaki, tetapi itu urusan lain yang bisa jadi di luar kompetensi Anda.
Meskipun demikian surat wasiat itu bisa juga jadi urusan atau kompetensi Anda jika Anda bergerak dari paradigma perilaku orang kaya dalam teks hari ini ke paradigma relasi pribadi yang disodorkan Guru dari Nazareth. Paradigma orang kaya itu bernuansa do ut des (aku memberi supaya kamu [balik] memberi), maka fokus utamanya ialah pilihan perilaku yang menguntungkannya. Paradigma yang disodorkan Guru dari Nazareth menisbikan keuntungan seperti itu. Paradigma ini menggarisbawahi relasi dengan pewaris sebagai fokus utama. Tentu dari relasi itu muncul pilihan perilaku, tetapi tak lagi dilandasi prinsip do ut des. Orang yang menanggalkan prinsip do ut des ini tak akan lagi menggantungkan hidupnya pada uang, kesenangan, kesuksesan yang menyilaukan mata karena ia tahu bahwa itu semua menjanjikan ‘kehidupan’, tetapi membawa ‘kematian’.
Anda tak perlu mengambil kesimpulan yang lucu lagi: Anda tetap harus mengusahakan uang, kesenangan, dan kesuksesan, tetapi dalam perspektif bahwa itu sekunder di hadapan relasi pribadi dengan pewaris kehidupan. Mari simak klip Muslim Millennial berikut ini.
Ya Allah, tambahkanlah cinta kami pada-Mu. Amin.
SENIN BIASA VIII C/1
4 Maret 2019
Posting Tahun B/2 2018: Will You Walk Alone?
Posting Tahun A/1 2017: Kurang Satu Ons Doang *
Posting Tahun C/2 2016: Cinta Absensi
Posting Tahun B/1 2015: Lebay sama Hukum *
Posting Tahun A/2 2014: Go Out Of The Box
Categories: Daily Reflection