Cinta Tanpa Kenapa

Baru saja Bayern München dan klubnya Leroy Sane memenangkan gelar juara di tempatnya masing-masing; Marc Marquez mendapat pole position dan tim bulutangkis Indonesia akan memulai pertandingannya untuk meraih kemenangan dalam Piala Sudirman. Sementara itu, real count KPU semakin menunjukkan akurasi quick count yang memenangkan 01. Nuansa kemenangan semacam inilah yang lebih populer dalam pemahaman orang biasa: kemenangan yang silih berganti datangnya.

Nuansa ini kurang membantu orang beriman memahami kata ‘kemuliaan’ (gloria) yang disodorkan dalam teks bacaan hari ini. Moto AMDG yang berfokus pada kata kemuliaan itu juga rupanya tidak bisa dilekatkan pada nuansa kemenangan jenis tadi. Kalau tetap mau memakai kata kemenangan untuk memahami kata ‘kemuliaan’ dalam teks hari ini, kiranya hari kemenangan yang dinantikan umat Islam lebih membantu. Ini bukan kemenangan karena mengalahkan yang lain; ini adalah jenis kemenangan tanpa mengalahkan yang lain (sudah saya bahas dalam posting Logika Paradoksal: sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasoraké). Artinya, ini bukan kemenangan karena mengendalikan orang lain, melainkan kemenangan karena mengendalikan diri sendiri.

Wacana kemuliaan yang disodorkan Guru dari Nazareth hari ini merujuk pada misteri hidupnya yang terbuka pada kegelapan. Pada kenyataannya, wacana itu disampaikannya di malam hari, ketika kekuatan gelap sedang menghimpun kekuatan untuk menghabisinya. Kemuliaan tak cukup dimengerti sebagai kesuksesan atau keberhasilan menaklukkan objek di luar diri orang, sebagaimana dikehendaki oleh kekuatan gelap itu.

Kalau boleh memasukkannya sebagai analogi, barangkali peristiwa Yesus (hidup, wafat, dan kebangkitannya) itu lebih mirip dengan misteri yang dirayakan umat Buddha hari ini: kelahiran alias hidup Sang Buddha, kemenangannya alias pencerahannya, dan wafatnya. Dalam peristiwa itu terdapatlah tegangan dengan kekuatan-kekuatan yang meredupkan kemuliaan hidup, tetapi beliau mengatasinya justru dengan membiarkan kekuatan gelap itu berlalu, menanggalkannya, meninggalkannya.

Sayangnya, orang hanya akan cenderung melihat simtom kekuatan gelap: radikalisme, terorisme, black magic, santet, perdukunan, dan sebagainya. Sebagaimana kemarin saya singgung soal isi dan bentuk, orang hanya berhenti pada ‘bentuk, yang adalah simtom tadi. Isi kekuatan gelap itu melampaui manifestasinya yang bisa beragam rupa. Dalam teks hari ini itu ditunjukkan dengan perintah kepada para murid untuk saling mengasihi sebagaimana Guru dari Nazareth telah mengasihi mereka. 

Lagi-lagi, perintah itu cenderung ditangkap orang dengan kategori kuantitatif sehingga seakan-akan orang harus saling mencintai sampai, seperti Guru dari Nazareth itu, mengorbankan nyawa, mati.
Loh, ya memang begitu kan, Rom?
Ya begitu, tetapi dalam arti mencinta seumur hidup; bukan mencintai suatu objek sampai mengorbankan segala-galanya bahkan nyawanya sendiri demi mendapatkan objek itu.

Perintah saling mengasihi seperti Guru dari Nazareth itu mengasihi para muridnya lebih tepat dimengerti secara kualitatif sebagai ‘cinta tanpa kenapa’.
Seorang romo abad XVII bernama Angelus Silesius menulis sajaknya yang kira-kira kalau diterjemahkan jadi: the rose is without why, it blooms because it blooms.
Memang tidak gampang mencinta tanpa kenapa, karena di kedalaman hati orang masih bercokol syarat-syarat tertentu. Yang disarankan Guru dari Nazareth untuk masuk dalam kemuliaan ialah ‘cinta tanpa kenapa’ tadi.

Ya Allah, murnikanlah hati kami supaya cinta tak bersyarat-Mu sungguh dapat mengalir dari kedalaman diri kami. Amin.


MINGGU PASKA V C/1
Hari Raya Waisak
19 Mei 2019

Kis 14,21b-27
Why 21,1-5a
Yoh 13,31-33a.34-35

Posting 2016: Cinta Tanpa Batas