Doa Phishing

Kegalauan pada umumnya terjadi bukan karena objek di luar diri seseorang membingungkan, melainkan karena ia bingung dengan hal dalam dirinya sendiri alias krisis identitas. Yang jadi perhatiannya hal-hal di luar, padahal hal-hal yang di luar itu mesti saja berubah-ubah. Maka, orang bisa cerdas memahami objek di luar dirinya, tetapi belum tentu bijaksana memahami dirinya sendiri. Contoh paling sederhana untuk tuan-tuan putri adalah memilih pakaian😂. Saking banyaknya pakaian, tuan-tuan putri ini tak lagi mantap dengan klasifikasinya bahwa dulu ini dibeli untuk itu dan itu dibeli untuk ini. Akhirnya mulailah mereka bingung dengan ‘apa kata orang’, ‘apa kata sapi’, dan ‘apa kata tuyul’.
Lalu teringatlah saya pada kata-kata Mother Teresa: Don’t look for spectacular actions. What matters is the gift of yourself. What matters is the degree of love you put into every gesture: in your serving.

Ketika akun medsos saya mulai kena upaya phishing, saya sadar bahwa konsekuensi untuk blog ini akan signifikan terhadap pageview hit setiap postingnya karena saya tak bisa lagi membagikan tautan langsung dari blog ini ke medsos saya. Memang begitulah, merosot 3-4 kali lipat. Sedikit lebih ribet untuk membagikannya di medsos. Akan tetapi, saya juga sadar bahwa pageview hit itu hanyalah salah satu dari spectacular actions yang disebut Mother Teresa tadi. Maklum, spectaculum dalam Bahasa Latin memang berhubungan dengan penglihatan alias sight bin view. Jadi, kata-kata Mother Teresa itu meneguhkan saya untuk tidak mengalami krisis identitas gara-gara phishing😂😂😂.

Tidak hanya itu, ungkapan beliau juga menyadarkan saya bahwa what matters is the degree of love you put into every gesture: in your serving. Ini bukan upaya membenarkan diri, melainkan sedikit berbagi untuk menanggapi mengapa tak sedikit pembaca blog ini yang sering harus mengernyitkan kening di dahi (lha emang ada kening lain, Rom?) membaca kalimat-kalimat dalam posting ini. Jadi ceritanya, lima tahun lalu saya mulai membuat posting dengan menaruh kutipan teks Kitab Suci di atas, baru kemudian catatannya. Lama-kelamaan saya sadar sendiri bahwa ini ranah publik, maka sebaiknya mulai dengan bahasa publik dulu. Akhirnya, sampai sekarang, saya tuliskan catatannya dulu, baru rujukan Kitab Suci, dengan pengandaian kalau yang Kristen mau membaca rujukannya bisa membukanya. Pada kenyataannya, dari dashboard saya terlihat bahwa hampir tak ada yang membuka rujukan Kitab Suci itu (pasti pembacanya orang Katolik semua nih!😂).

Kenapa tetap saya cantumkan? Supaya sekarang saya punya alasan untuk menjelaskannya. Kira-kira 90% refleksi dalam blog ini tertulis melalui proses panjang. Biasanya malam hari saya membaca teks bacaan yang dipakai esok hari. Bacaan itu saya bawa tidur, lalu paginya saya bawa dalam doa, dan dalam rangkaian doa itu saya butuh sekitar satu jam untuk menuliskan catatan dengan referensi seperlunya.
Dari teks, doa, jadi catatan. Runyamnya, pembaca kan tidak mungkin mendoakan catatan saya, kurang kerjaan amat!😂😂😂
Usul saya, kalau ada hal dalam catatan-catatan blog ini yang tidak dimengerti, biarkan saja pergi. Kalau mau mencari insight, yang Kristen bisa buka rujukan Kitab Suci di bawah, yang non-Kristen kembali kepada Kitab Sucinya sendiri yang kira-kira sinkron dengan catatan yang saya buat dan, kalau mau, mendoakannya. Pedoman doa sudah saya berikan pada halaman ini.
Please feel free, saya pun merdeka mengalokasikan waktu untuk membuat catatan.

Lha hubungannya dengan teks bacaan hari ini apa, Rom?
Saya kutipkan dari teks bacaan pertama: Di mana ada Roh, di situ ada kemerdekaan. Dalam teks bacaan kedua diinsinuasikan hidup para pemuka agama, orang Farisi dan ahli Taurat, yang tak merdeka. Jangan-jangan, mereka tidak mengandalkan Roh. Dengan kata lain, jangan-jangan hidup saya dan Anda tidak mengandalkan Roh.


KAMIS BIASA X C/1
Peringatan  Wajib S. Antonius Padua
13 Juni 2019

2Kor 3,15-18;4,1.3-6
Mat 5,20-26

Kamis Biasa X B/2 2018: Lebaran Kok Lancar
Kamis Biasa X A/1 2017: Halo Kafir

Kamis Biasa X C/2 2016: Salaman Eaaaa…

Kamis Biasa X A/2 2014: Ojo Dumeh