Kristen vs Nasrani?

Orang yang secara serius bilang “Ah cuma soal kecil” untuk menanggapi penderitaan yang diprovokasinya atau suasana kegembiraan yang dirusakkannya bisa jadi tak pernah tahu bagaimana mencinta, dan ia mengabaikan welas asih alias belas kasih. Bisa jadi hobinya bergembira di atas penderitaan orang lain; susah lihat orang lain senang dan senang lihat orang lain susah.

Guru dari Nazareth mengangkat derajat ‘soal kecil’ dalam Hukum Taurat yang tidak akan dihilangkannya. Dalam teks hari ini ia menegaskan bahwa satu titik kecil alias tanda baca pun tak akan dilenyapkan sebelum langit dan bumi ini lenyap. Artinya, yang sudah ya sudahlah [mosok jadi belum].
Omong-omong soal ini, sewaktu saya tulis posting PD Oke, Keterlaluan Jangan, teks yang dirujuk oleh pengkhotbah perempuan itu adalah teks yang dibacakan hari ini dalam liturgi Gereja Katolik. Oleh beliau, teks ini dipakai untuk menegaskan bahwa Guru dari Nazareth pun mengakui Taurat dan tidak menyangkalnya.

Sampai di situ saya manggut-manggut setuju. Akan tetapi, ketika hal itu dipertentangkannya dengan Paulus yang seakan-akan membatalkan Hukum Taurat (bdk Gal 2,16), saya mulai bertanya dalam hati,”Ibu ini sekolah di mana ya kira-kira?”
Rupanya di dunia maya wacana mengenai ini sudah jadi semacam pakem kontroversi: Guru dari Nazareth membela Hukum Taurat, sedangkan Paulus membatalkannya. Lanjutannya: Guru dari Nazareth membentuk kelompok Nasrani dan Paulus membentuk kelompok Kristiani alias Kristen.

Sebagai dosen Sejarah Gereja saya sungguh merasa ilmu yang saya pelajari itu benar-benar dilecehkan. Akan tetapi, sebagai mahasiswa Interreligious Studies, saya mengerti bagaimana asumsi seperti yang dipegang ibu pengkhotbah tadi bisa muncul. Tentu, sebagai pengikut Guru dari Nazareth dan Paulus, saya tidak bisa membenarkan asumsi itu. Menurut saya, dua pribadi itu memang semula bertentangan, persis karena Paulus membela Hukum Taurat dengan cara yang berbeda dari cara yang disodorkan Guru dari Nazareth.

Di mana bedanya? Bisa dilihat dari teks bacaan pertama, yaitu teks yang ditulis Paulus setelah pertobatannya. Katanya, perjanjian baru itu tidak merujuk pada hukum tertulis, melainkan pada Roh. Hukum tertulis itu adalah Hukum Taurat, yang oleh Guru dari Nazareth takkan diubah. Apa yang tertulis ya begitulah adanya. Yang sudah ya sudah. Yang penting bukan lagi tulisannya, melainkan Roh yang memungkinkan orang memahami konteks dan makna tulisan itu. Persis itulah maksud Paulus mengatakan bahwa tak seorang pun dibenarkan (semata) karena melakukan Hukum Taurat (Gal 2,16 tadi). Bukankah sejarah menunjukkan bagaimana orang menjalankan perintah agama untuk bikin chaos?

Itu justru menegaskan apa yang disampaikan Guru dari Nazareth. Menggenapi atau memenuhi Hukum Taurat bukan soal ribet dengan aneka kontroversi antara teks dalam Hukum Taurat, melainkan soal menangkap Roh di balik Hukum Taurat itu sehingga jadi relevan bagi hidup konkret, bukan malah kembali ke masa silam ketika Hukum Taurat itu dibuat. Itu juga maksud Paulus menyatakan bahwa hukum tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan. Tak usahlah bicara suci-suci mengenai soal keagamaan, bukankah dalam hukum biasa juga tetap dibutuhkan interpretasi alias penafsiran? Dalam tindak menafsirkan itu, sebetulnya ada manifestasi aneka roh. Itu mengapa dibutuhkan suatu pembedaan roh.

Ya Allah, tuntunlah kami dengan Roh Kebijaksanaan-Mu. Amin.


Rabu Biasa X C/1
12 Juni 2019

2Kor 3,4-11
Mat 5,17-19

Rabu Biasa X B/2 2018: #2019gantisiapa
Rabu Biasa X A/1 2017: Trending Tidur
 

Rabu Biasa X C/2 2016: Kamu Jahat
Rabu Biasa X B/1 2015: Taat, tapi Robot