Salah satu hal yang saya pelajari dari para ekstremis agama atau para teroris ialah passion mereka untuk menerjemahkan aneka macam teori ke dalam praksis hidup. Mereka berusaha keras mempelajari apa saja untuk mencapai tujuan dan hasil pelajaran itu menjadi konkret dalam tindakan mereka. Andai saja semua orang beragama punya kemampuan ini (menerjemahkan pengetahuan ke dalam tindakan konkret), dunia ini tentu sudah sejak lama jadi surga. Tentu dengan catatan sangat keras: pengetahuan agamanya, pelajaran agamanya mendalam, komprehensif, bukan buah propaganda indoktrinatif.
Kemarin sore, sewaktu Prabowo menyambangi kediaman suami almarhumah Bu Ani Yudhoyono, ndelalahnya saya melihat poster ini: Ini adalah contoh propaganda indoktrinatif, yang dikomentari dengan pertanyaan singkat: Ngimpi?
Itulah bahayanya kalau kemampuan menerjemahkan ke dalam tindakan konkret itu diterapkan pada ilusi, mimpi, hoaks, atau indoktrinasi.
Ndelalahnya juga, pada saat mata saya memproses baliho ucapan selamat atas terpilihnya Prabowo-Sandi sebagai presiden RI 2019-2024 itu, telinga saya menyimak ‘tausiah’ menjelang buka puasa di radio. Saya keraskan volume suara radio karena saya ingin belajar betul dari ‘tausiah’ itu; tetapi apa mau dikata, saya malah mendapatkan contoh indoktrinasi lain dan sungguh saya prihatin dan dalam hati tak rela saudara-saudari saya dicekoki nasihat-nasihat yang muncul dari kompleks rendah diri.
Saya sangat setuju bahwa saudara-saudari yang memeluk Islam bersyukur atas nikmat Islam yang dikaruniakan Allah. Memang seharusnyalah begitu. Ngapain orang memeluk suatu agama dan ia tidak bangga atas agamanya? Ngapain juga orang memegang keyakinan agama jika ia tidak melihatnya sebagai suatu kebenaran? Singkatnya, memang orang beragama mesti percaya diri bahwa keyakinannya itu benar.
Meskipun demikian, orang beragama juga perlu membuka mata bahwa selama sekian puluh abad peradaban manusia ini, agama itu bukan cuma Islam dan Kristen; seiring dengan itu, kalau orang punya sedikit empati, ia akan tahu bahwa yang mengklaim keyakinan agamanya benar ya bukan cuma Islam dan Kristen. Dengan demikian, mengajak umat berbangga dan bersyukur karena nikmat Allah yang dikaruniakan dalam agama tertentu jelaslah ajakan positif. Akan menjadi negatif nuansanya jika itu ditempuh dengan menebarkan hoaks mengenai agama lain.
Ketika saya mendengarkan ‘tausiah’ itu, hati saya tertusuk-tusuk bukan karena agama yang saya peluk (entah Nasrani atau Kristiani seturut kategori pemberi ‘tausiah’ itu) dipelintir, melainkan karena perhatian saya pada saudara-saudari saya yang memeluk Islam yang mendengarkan ‘tausiah’ yang berisi hoaks itu. Rasanya seperti melihat baliho dan mengingat para korban propaganda Prabowo-Sandi.
Teks bacaan hari ini mengindikasikan bahwa hidup kekal itu ditempuh dengan pengenalan utuh terhadap Allah dan utusan-Nya. Utuh berarti mencakup pengetahuan lewat inteligensi, afeksi, dan aksi. Kalau orang beragama secara sehat, ia sungguh-sungguh akan berusaha mengerti jalan yang ditempuhnya itu sebagai jalan untuk pengenalan Allah dan utusan-Nya. Orang bersyukur menghayati agamanya karena itu sungguh jadi jalan terbaik baginya untuk mencintai Allah dan utusan-Nya, bukan karena agama lain salah atau utusan Allah yang dijunjungnya lebih baik dari utusan Allah yang lain.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kami dapat mengenal Engkau dan utusan-Mu secara utuh dalam budi, hati, dan aksi kami. Amin.
HARI SELASA PASKA VII
4 Juni 2019
Posting 2018: Oposisi Lemah
Posting 2017: Tanggung Nih
Posting 2016: Susahnya Sederhana
Posting 2015: Pengetahuan Tertinggi
Posting 2014: Memuliakan Tuhan, Mangsudnyah?
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.