Sepertinya ada prinsip ekonomi juga ya dalam hidup kerohanian: cari untung, bahkan meskipun keuntungannya ‘cuma’ batiniah. Akan tetapi, bukankah kebahagiaan itu ‘cuma’ batiniah sifatnya?
Metafora yang dipakai Guru dari Nazareth untuk menggambarkan Kerajaan Allah hari ini adalah tentang orang yang menemukan harta karun di suatu lahan lalu menjual harta seluruh harta miliknya demi memperoleh lahan itu. Paralel dengan itu, Kerajaan Allah seperti orang yang menemukan mutiara yang sangat berharga lalu menjual seluruh harta miliknya untuk membeli mutiara itu.
Yang pertama mungkin untung karena pemilik lahannya tak tahu adanya harta karun di ladangnya. Yang kedua mungkin bak buk (tidak rugi tapi juga tidak untung) karena mutiara sebagai objeknya itu diketahui pembeli maupun penjualnya. Entah untung, entah bak buk, keduanya sama-sama ‘menjual seluruh harta miliknya’. Artinya, dalam konteks hidup kerohanian ini, dalam konteks orang hendak menggapai kebahagiaan, kemerdekaan, kedamaian dan alias-alias lainnya, orang memang mesti menjual dulu sebelum dapat membeli. Tidak ada istilah cicilan. Seluruh harta milik mesti dijual!
Tentu saja itu adalah metafora yang tidak bisa ditangkap secara naif sebagai nasihat supaya orang jadi kéré karena menjual seluruh harta miliknya. Dalam logika kerajaan macam begini, sebelum orang memiliki, orang mesti melepaskan atau menjual dulu. Apa yang dilepaskan atau dijual? Ya apa saja [termasuk menjual dirinya] secara total. Kepada siapa? Kepada yang menjual harta yang sangat berharga itu, bukan?
Dengan demikian, juga dalam kerohanian, orang perlu mengadakan riset sendiri: hal-hal apa saja yang menyenangkan dan hal apa yang sungguh membahagiakan. Hasil risetnya tentu memicu rekomendasi supaya hal-hal yang menyenangkan itu ditukar dengan hal yang sungguh membahagiakan. Ini rupanya gampang diomongkan, tetapi susah dipraktikkan, persis karena ranahnya bukan lagi lahiriah, melainkan batiniah.
Saya tidak memisahkan antara yang lahiriah dan batiniah, tetapi juga tidak menyangkal bahwa roh penurut, sedangkan daging lemah. Sederhana saja saya memahaminya, berdasarkan pengalaman sendiri: kalau bobot saya melebihi angka 85 kilo itu, mau beraktivitas juga rasanya beraaaat sekali. Padahal itu aktivitas berbobot.😂 [Kalau body shaming terhadap diri sendiri boleh gak ya?]
Justru di situlah letak relevansi metafora Kerajaan Allah tadi: bukan soal menurunkan berat badan, melainkan soal ‘menjual’ kesenangan-kesenangan kecil demi hal yang lebih besar. Tak mengherankan, sosok yang diperingati Gereja Katolik hari ini, Ignatius Loyola, punya semboyan Ad Maiorem Dei Gloriam, atau bahkan pengikutnya yang masih kinyis-kinyis, Stanislaus, sejak awal meyakini bahwa dia dilahirkan untuk hal-hal yang lebih besar (ad maiora natus sum). Orang-orang yang bersemboyan seperti ini tentu saja tak akan mempertahankan kesenangan-kesenangan kecil, tetapi melepaskannya demi hal yang lebih besar dan pastinya lebih membahagiakan. Believe it or not?
Lalu saya jadi ingat suatu takaran yang viral beberapa waktu lalu: jebolan universitas anu itu ya wajarnya bergaji awal berapa juta gituloh. Eh, belum jualan apa-apa dah mikirin untung rugi aja lu!
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi supaya kami sungguh secara jeli menangkap harta yang paling berharga dalam kerajaan-Mu. Amin.
RABU BIASA XVII C/1
Peringatan Wajib S. Ignatius Loyola (SJ)
31 Juli 2019
Rabu Biasa XVII B/2 2018: Ziarah Aja
Rabu Biasa XVII A/1 2017: Bahagianya Melayani
Rabu Biasa XVII C/2 2016: Monggo, Silakan
Rabu Biasa XVII A/2 2014: Happy Kok Maksa
Categories: Daily Reflection
Romo..
Selamat merayakan Pesta nama St. Ignatius Loyola
Mohon doanya agar setia berdiskresi sepanjang waktu…
#kontemplasidalam.aksi
LikeLike
Terima kasih banyak, Mas HPI. Saling mendoakan dong ya.
LikeLike