PLN Berdoa

Kata tetangga jauh saya, hari ini Gereja Katolik memestakan peristiwa dalam teks Kitab Suci yang mengisahkan perubahan rupa Guru dari Nazareth di suatu bukit, yang konon diidentikkan dengan Tabor. Di Timur dipestakan sejak abad ke-4, sedang di Barat baru tujuh abad sesudahnya. Yang dirayakan di situ ialah bagaimana wajah Yesus memancarkan cahaya hidup dan jadi rahmat bagi semesta, sebagaimana saudara-saudari Muslim saya meyakini Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Saya tidak punya kompetensi untuk membahas frase terakhir, tetapi saya punya kepentingan untuk menjabarkan bagaimana pesta hari ini terhubung dengan kemanusiaan.

Dalam kalender liturgi Gereja Katolik memang dituliskan hari ini adalah Pesta Yesus menampakkan kemuliaan-Nya. Nah, kata ‘kemuliaan-Nya’ itu bisa ditafsirkan sebagai kemuliaan Yesus, tetapi juga bisa ditafsirkan sebagai kemuliaan Allah. Saya menangkap kedua-duanya tanpa perlu main klaim bahwa Guru dari Nazareth itu adalah Allah [wong malah saya menyangkalnya, karena justru di situ orang berantem dengan doktrin].

Singkatnya, peristiwa itu menunjukkan kemuliaan Guru dari Nazareth karena di situ ditonjolkan karakter keilahiannya, karakter yang tidak eksklusif miliknya. Semua orang punya karakter itu meskipun tidak berarti senantiasa menunjukkannya. Karena itu, kata ganti ‘Nya’ tidak menunjuk pada Guru dari Nazareth per se, tetapi pada sifat keilahian tadi. Akan tetapi, peristiwa itu juga menunjukkan kemuliaan Allah, bukan karena Guru dari Nazareth adalah Allah, melainkan bahwa sifat keilahian tadi datangnya dari Allah, bukan dari yang lain-lainnya.

Oleh karena itu, peristiwa transfigurasi, meskipun jelas dikatakan dalam teks bahwa rupa wajahnya berubah dan pakaiannya menjadi putih berkilauan, tidak pertama-tama menunjukkan perubahan fisik Guru dari Nazareth, melainkan momen revelasi alias pewahyuan keilahian. Mari lihat detailnya sedikit: itu terjadi ketika Guru dari Nazareth sedang berdoa.
Artinya, dalam doa, keilahian itu diwahyukan. Akan tetapi, saya tak akan bosan dengan kata kerja ‘mengobjekkan’ untuk apa saja yang berbau misteri: pewahyuan keilahian itu tidak bisa diobjekkan seperti Anda mengobjekkan PLN yang gagal menjaga konsistensi penyediaan listriknya. Dengan itu, Anda bisa mengambil aneka macam spekulasi, entah sabotase, entah korupsi, entah orang iseng, dan seterusnya.

Pewahyuan keilahian dalam transfigurasi Yesus hanya terpahami kalau hidup doa Anda sendiri transformatif. Tak ada orang yang mengerti sedikit pun mengenai pewahyuan keilahian ini jika doanya cuma legalistik, ritualistik, yang pokoknya sesuai dengan kaidah-kaidah liturgi. Orang macam ini seakan lupa bahwa yang mutlak itu cuma Allah semata dan yang lain-lainnya (nabi, Kitab Suci, Putra Allah, manusia ideal) ‘hanyalah’ jembatan menuju Allah, yang pasti terkena hukum penafsiran seturut konteks hidup manusia konkret.

Maka dari itu, bagi orang beriman, doa bukanlah pelarian dari kepenatan hidup belaka, apalagi pelarian dari tanggung jawab sosialnya dengan topeng agama, melainkan jadi momen menimba daya untuk mewahyukan rahmat bagi semua tadi. Pesta hari ini bukan soal apakah wajah Yesus memang bercahaya dan pakaiannya berkilauan atau tidak, melainkan soal apakah transfigurasi itu terjadi dalam hidup orang beriman. Saya sudah contohkan dalam posting Hidup sebagai Hadiah, atau Joyful Joss, atau yang lebih berupa wacana Narsis Gak Eaaa.

Ya Allah, mohon rahmat keteguhan hati supaya hidup kami sungguh dapat menjadi pujian dan pengabdian demi kemuliaan-Mu semata. Amin.


PESTA YESUS MENAMPAKKAN KEMULIAANNYA
(Selasa Biasa XVIII C/1)
6 Agustus 2019

Dan 7,9-10.13-14
Luk 9,28-36

Posting 2016: Capek Liburan

4 replies

  1. Hello Fr. Andre, tulisannya menarik dan setuju kl semua dr kita bisa menunjukkan kemuliaan Allah krn kita segambar denganNya, asal kita bisa jaga kemurnian hidup kita (lewat doa dan sikap hidup sehari2 terutama bisa bawa berkat buat sesama). Boleh tanya gak (soalnya kemarin2 kan Rm bilang suruh ponder sesuai pengalaman pribadi jadi yo wis lah, baca telan dan renungkan sendiri aja): apa yg Rm maksud dg kalimat akhir di alinea kedua “menyangkalnya”? Menyangkal guru dr Nazareth adalah Allah? Kok gitu? Apakah itu terkait penjelasan dlm alinea berikutnya? Gitu aja, maaf bacanya detil soalnya udah kebiasaan🙏

    Like

    • Halo Bu’, iya betul saya tergolong dalam segelintir orang yang menyangkal Guru dari Nazareth adalah Allah karena keterbatasan bahasa kita dan blog ini saya tulis dengan asumsi pembacanya bukan cuma mereka yang mengafiliasikan dirinya pada kekristenan. Guru dari Nazareth, dengan demikian, adalah wahyu Allah dalam sejarah (sebagaimana Alquran bagi umat Islam), bukan Allahnya sendiri. Beda lagi kalau kata yang dipakai “Tuhan” alias gusti dalam bahasa Jawa misalnya. Saya tak keberatan dengan sebutan Tuhan Yesus (meskipun saya jarang menggunakannya kecuali dalam doa), tetapi Tuhan di situ beda lagi daripada Allah. Apakah ini bertentangan dengan paham trinitas? Tidak, karena pribadi kedua dalam trinitas tidak bisa direduksi sebagai Guru dari Nazareth (meskipun terhubung dengannya). Kebanyakan orang Kristen saya duga memukul rata begitu saja Guru dari Nazareth sebagai pribadi kedua dalam trinitas.
      Membaca detail gak apa Bu, pokoknya selalu waspada bhw sy tidak setiap saat online dan bisa langsung menanggapi aneka komentar. Selamat pesta.

      Like

      • Terima kasih Mo, atas jawabannya. Sepertinya Rm sering pakai istilah Guru dari Nazareth dalam tulisan2 Rm, jadi idealnya selanjutnya itu hrs dibaca sebagai wahyu Allah secara umum dan bukan dimaksudkan sbg personifikasi Tuhan kita. Got it. Dg demikian semakin bisa mengerti apa yg tersirat dlm alinea ke 3 & 4 nya. Ya gpp mo meski kadang rasa gimana gitu kl pertanyaannya kayak diantepin, must keep in mind this is not a class room for discussion😊 Thks again🙏

        Like