Saya sudah mengaku bahwa saya sangat jarang memberi uang kepada pengemis dalam posting Pemelihara Harapan Palsu. Di situ saya jabarkan pengalaman langka saya bersama pengemis, yang belum tentu terulang lagi, wong namanya juga langka. Di sini saya cuma mau menegaskan bahwa pada dasarnya saya tidak suka keberadaan pengemis, bagaimanapun bentuknya. Bukan karena saya tidak suka pada si pengemisnya, melainkan karena keberadaan mereka menghantui saya untuk melihat kenyataan bahwa ada yang salah dengan sistem atau tatanan tempat hidup saya. Artinya, saya tak berdaya terhadap tatanan itu.
Teks bacaan kedua pada hari ini dengan mudah saya tangkap: para murid merasa terganggu oleh kedatangan seorang perempuan yang terus berteriak-teriak minta tolong. Kalau dibahasakan dalam konteks zaman now ya mungkin mereka maunya merogoh kantong, mengambil recehan, dan “Dah pergi sana gih!”
Ya, perempuan itu bukan pengemis seperti yang saya temui di perempatan jalan, tetapi bisa jadi pengemis cinta untuk anaknya yang sedang sakit. Akan tetapi, itu benar-benar membuat para murid terganggu. Mereka meminta Guru dari Nazareth supaya mengusirnya dan rupanya Guru dari Nazareth tidak mengusir dengan gaya Satpol PP. Dia menunjukkan sikap eksklusifnya: Bu’, kamu tahu bahwa aku tidak berurusan dengan orang-orang kafir!
Kira-kira apa yang terjadi pada para murid Guru dari Nazareth itu kalau diceramahi seperti itu ya? Di zaman sekarang ini, bisa jadi orang tidak suka diberi label kafir, lalu main pencak silat (kalau yang memberi labelnya lebih kecil darinya). Bisa jadi para murid itu akan jadi sewot dan emosi jiwa jika dirinya dituduh kafir (pertanda bahwa mereka kafir beneran, eaaa….).
Perempuan dari tanah pagan alias kafir itu rupanya memberikan respon yang justru semestinya dimiliki orang beriman.
Saya tak tahu apa yang ada dalam benak Guru dari Nazareth, tetapi kalau mempertimbangkan seluruh perjalanan hidupnya, tampaknya ada unsur provokasi juga dalam wacananya. Dalam posting Tuhan Tobat memang saya sodorkan tafsiran berbeda, seakan-akan Guru dari Nazareth terbuka wawasannya karena sikap perempuan ini. Akan tetapi, bisa juga dia sebenarnya menantang dan menanting perempuan itu untuk menunjukkan imannya yang mengatasi label yang dilekatkan orang lain padanya. Rupanya, perempuan itu ‘berhasil’ menembus batas: betul bahwa seturut label yang Anda lekatkan pada saya, memang saya kafir, tetapi bukankah Allah yang mahabesar itu punya daya untuk memancarkan kebesaran-Nya melampaui batas label yang Anda buat? Justru dalam disposisi itulah, perempuan itu malah siap jadi murid Guru dari Nazareth, bahkan meskipun sebagai perempuan dianggap warga kelas dua, kafir pula.
Sayang sekali, tak sedikit orang beragama yang tidak sampai pada disposisi macam itu karena berhenti pada kalkulasi manusiawi dan bersungut-sungut, alih-alih berteriak memohon bantuan Allah dan percaya pada kebesaran-Nya. Bacaan pertama menunjukkan bagaimana rida Allah tidak diberikan kepada orang beragama yang hidupnya dipenuhi sungut. Begini keluar sungut, begitu nongol sungut. Itu berbeda dari perempuan kafir yang tak memelihara sungut karena menaruh kepercayaan besar bahwa Allah akan bertindak.
Tuhan, tambahkanlah iman untuk mengharapkan cinta-Mu. Amin.
RABU BIASA XVIII C/1
7 Agustus 2019
Bil 13,1-2a.25; 14,1.26-29.34-35
Mat 15,21-28
Rabu Biasa XVIII B/2 2018: Tuhan Tobat
Rabu Biasa XVIII A/1 2017: Let God Do The Rest
Rabu Biasa XVIII C/2 2016: We’re No Strangers
Rabu Biasa XVIII B/1 2015: Jangan Meremehkan Insha’ Allah
Categories: Daily Reflection