Tanduk Iblis

Setelah posting sapi mengeluh dan manusia bersungut, hari ini puncak keluhan dan sungut-sungut itu disodorkan dalam teks bacaan pertama: bangsa Israel bertikai dengan pimpinan mereka sendiri karena kekurangan air. Entah apa yang terjadi dalam diri Musa sebagai pemimpin bangsa itu. Dia menghadap Tuhannya dan rupanya terjadi kesenjangan antara yang dikatakan dan yang diperbuat Musa setelah bincang-bincangnya dengan Tuhan.

Jadi ceritanya dia diprotes bangsanya sendiri yang rupanya belum bisa move on dari kenyamanan sebagai bangsa terjajah di Mesir dan tak tahan dengan susahnya hidup di gurun. Musa menjumpai Tuhannya dan Tuhan itu berpesan supaya dia bicara di hadapan seluruh bangsanya. Catat! Dia cuma diminta bicara saja di hadapan seluruh bangsanya supaya bukit di hadapan mereka itu mengeluarkan air yang dibutuhkan bangsa Israel. Musa manggut-manggut, paham apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya, dan memang dia membawa tongkat seturut yang diperintahkan Tuhan itu.

Akan tetapi, dasar manusia, mengangguk-angguk bilang paham ashiaaaap juga tidak berarti paham betul. Musa mengumpulkan bangsanya dan yang keluar dari mulutnya adalah kira-kira begini,”Kalian itu benar-benar tak tahu diuntung. Apakah kami mesti jadi tukang gali sumur untuk mengeluarkan air dari bukit ini? Tapi dasar kalian bebal, tak bisa bersabar juga, baiklah kami keluarkan air dari bukit ini!” Dia memukulkan tongkatnya dua kali ke bukit dan memang air mengalir dari situ dan bisa dipakai untuk keperluan bangsa Israel. Waaaaooooow keren!

Problem sesaat Musa dan Harun dengan bangsa Israel teratasi, tetapi urusan dengan Tuhan tidak berhenti di situ. Mereka termasuk golongan yang kelak tak bisa masuk ke tanah idaman lantaran kesalahan ini. Alih-alih menjalankan perintah Allah (yang cuma minta Musa supaya omong saja kepada bukit di depan mereka), Musa dan Harun memelintir perintah itu untuk menunjukkan kepada bangsa Israel, entah sadar atau tidak, bahwa mereka sudah cukup sabar menghadapi keluhan sungut-sungut bangsa Israel dan mereka pula yang menyediakan kebutuhan bangsa Israel di padang gurun itu.

Sepertinya hal yang sama dilakukan juga oleh Petrus dalam teks bacaan kedua. Ketika Guru dari Nazareth bertanya mengenai identitas dirinya kepada para murid, Petruslah yang menjawab secara tepat dan jawaban tepat itu dipuji Sang Guru karena berasal bukan dari insight manusiawi, melainkan dari intuisi rohani yang semestinya berasal dari Roh Allah sendiri. Pujian membuat lupa diri dan Petrus tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang dimaksud gurunya.

Benar saja, itu ditunjukkan ketika Guru dari Nazareth mulai bicara soal konsekuensi penderitaan yang mesti ditanggung oleh Mesias, dan persis Petruslah yang pertama menegur gurunya itu: tak mungkin Mesias dikuya-kuya, jagoan gak boleh kalah! Karena teguran itu, Petrus malah balik dihardik gurunya: kamu iblis, yang hendak memelintir cara berpikir ilahi dengan keterbatasan rasionalitas tribalmu! (Ya maklum, di kepala Petrus dan teman-temannya, mereka butuh pemimpin yang membebaskan bangsa dari penjajahan Romawi.)

Begitulah mungkin kebanyakan orang beragama: manthuk-manthuk hendak memuliakan Allah, tapi tindakannya memelintir kemuliaan Allah itu dengan menginjak-injak kemanusiaan.

Tuhan, mohon rahmat integritas untuk sungguh memahami kehendak-Mu dan menjalankannya. Amin.


KAMIS BIASA XVIII C/1
Peringatan Wajib S. Dominikus (OP)
8 Agustus 2019

Bil 20,1-13
Mat 16,13-23

Kamis Biasa XVIII B/2 2018: Batu Berhala 
Kamis Biasa XVIII C/2 2016: Balikin KTP Gue

Kamis Biasa XVIII A/2 2014: Bisnis Hangat, Keluarga Dingin?