Anda pasti pernah dengar atau baca istilah esensialisme, suatu ideologi pencari hakikat dari objek pengetahuan yang begitu plural. Misalnya: kaum esensialis berpandangan bahwa Katolik itu pasti begini, dan Islam itu pasti begitu, seakan-akan Katolik itu di seluruh jagad begini dan Islam itu di segala tempat begitu. Padahal, Katolik Roma di Italia ya beda dari Katolik Roma di Indonesia. Bahkan, Katolik Roma di Indonesia bagian barat beda lagi dari Katolik Roma di Indonesia bagian timur.
Iya, tapi kan di mana-mana yang namanya Katolik Roma itu mengakui kepemimpinan Paus, Rom? Betul, tetapi ‘mengakui Paus’ itu tidak berbunyi sama untuk setiap orang. Maaf, saya tak bisa menunjukkan secara detail bagaimana segelintir orang Katolik Roma sewot pada Paus ini dan mengagungkan Paus sebelumnya [tentu dengan dalih suci]. Istilah esensialisme jadi peyoratif karena bersifat ideologis, tidak sejalan dengan yang dulu saya sodorkan dalam posting Agama Heuristik.
Lain soalnya kalau saya tanyakan kepada Anda, apa yang esensial dalam hidup Anda. Jawabannya subjektif, dan orang lain tak perlu menyalahkan jawaban Anda karena itu menyangkut perspektif hidup Anda sendiri. Yang penting, tak perlulah orang menjadikan perspektifnya sebagai ideologi seakan-akan memang dalam hidup ini yang esensial adalah perspektifnya sendiri. Konsekuensinya, diobrolkan saja dengan yang perspektifnya beda supaya bisa menemukan yang lebih esensial lagi, dan untuk itu mungkin orang jadi puyeng.
Salah satu tolok ukur bahwa sesuatu menjadi esensial ialah seberapa banyak waktu dan perhatian yang Anda investasikan dan, tentu saja, Anda sadari belakangan bahwa Anda telah melakukan begitu banyak hal yang ‘tak berguna’. Pada momen-momen seperti itu, Anda sudah dekat dengan apa yang esensial bagi hidup Anda. Apakah yang esensial itu? Entahlah, untuk Anda dan saya bisa jadi berbeda.
Teks bacaan pertama menyampaikan ajakan Musa kepada bangsanya untuk meninjau ke belakang apa yang sudah dilakukan Allah bagi mereka dan bagaimana mereka memberikan tanggapan kepada tindakan heroik Allah itu. Di akhir ditegaskan keesaan Allah, keunikan Allah, dan diinsinuasikan di situ bahwa yang esensial ialah berpegang pada ketetapan dan perintah-Nya. Teks bacaan kedua menyodorkan catatan bahwa berpegang pada ketetapan dan perintah-Nya itu mengandaikan suatu penyangkalan diri. Ini bikin orang benar-benar tak bisa jatuh dalam esensialisme karena setiap saat orang mesti siap menyangkal diri.
Penyangkalan diri seperti ini bukan pertama-tama soal menganggap diri salah dan orang lain benar, melainkan soal mengakui adanya tendensi bahwa orang mau mencari egonya sendiri, alih-alih mencari hal yang esensial. Keluar dari rel pencarian ego untuk menemukan hal yang esensial itulah manifestasi ‘salib’. Jadi, salib bukan kiriman Allah (ngapain juga Dia kirim-kirim salib), melainkan konsekuensi orang yang hendak berpegang pada ketetapan dan perintah Allah itu tadi: orang tak bisa berpegang pada egonya sendiri mengenai apa ketetapan dan perintah Allah, dia mesti mencarinya dalam kebersamaan dengan mereka yang bisa jadi perspektifnya berbeda sama sekali. Susah, kan? Susahlah, namanya juga salib.
Tuhan, mohon rahmat keteguhan hati untuk senantiasa mencari kehendak-Mu dalam hidup bersama kami. Amin.
JUMAT BIASA XVIII C/1
9 Agustus 2019
Jumat Biasa XVIII A/1 2017: Menyangkal Medsos?
Jumat Biasa XVIII C/2 2016: Chickens Love You
Jumat Biasa XVIII B/1 2015: Kenapa Gairah Melemah?
Jumat Biasa XVIII A/2 2014: Hidup Kok Serba Nyaman
Categories: Daily Reflection