Ikhlasnya Hilang

Beberapa hari lalu Mbah Moen menghadap Tuhan. Hari ini mbah lain, tetangga kantor saya, juga menghadap Tuhan. Mereka punya tinggalan yang baik bagi yang masih berziarah di dunya dan dumay ini. Salah satu yang saya salinkan ke sini adalah petuah Mbah Moen:

Petuah itu jugalah yang saya pakai untuk membaca alusi teks hari ini mengenai benih yang mesti jatuh ke tanah. Yang dikatakan Mbah Moen sebetulnya klop dengan dinamika alusi benih itu, tetapi relatif tidak banyak juga yang menghidupinya karena orang cenderung lebih mengutamakan hasil atau targetnya sendiri daripada proses yang pantas dijalani. Dua pokok alusi itu jelas: (1) Mau hidupmu berlimpah ruah? (2) Kalau mau, ya masuki (proses) hidup abadi itu.

Santo Laurensius, yang namanya dipakai sekolah Laurensia (gitu kali‘), menjadi saksi alusi benih itu: ia mati akibat persekusi. Tentu saja, tidak semua kematian identik dengan persekusi dan keadaan fisik yang tercerai berai. Laurensius menjadi benih yang mati bukan semata karena dia mati dibunuh dan dengan demikian jadi martir. Kesaksiannya mencolok karena sebelum matinya pun ia memang bergumul dengan hidup abadi itu. Nah, saya mengutip cocokloginya teolog India Rajkumar yang bermain-main plesetan dengan bahasa Inggris.

Menurutnya, witness orang beriman itu adalah with-ness: yaitu berada dengan kaum papa-miskin, bukan hanya papa-mama. Memang itu juga yang dilakukan Laurensius alias Lorenzo. Sebagai diakon, dia punya hati yang luar biasa untuk melayani orang-orang miskin.
Njuk, apakah semua orang beriman mesti berada dengan kaum papa-miskin? Betul banget! Akan tetapi, seperti ‘berada dengan kaum papa-miskin” pun bisa jadi gambarannya berbeda antara yang ada di kepala saya dan kepala Anda. Tentu tidak semua orang punya keterampilan untuk melayani kaum papa-miskin (bekerja untuk para pengungsi, imigran, korban penggusuran paksa, warga perkampungan kumuh, dan sebagainya), tetapi itu tidak berarti bahwa tanpa keterampilan itu orang tak bisa ‘berada dengan kaum papa-miskin’.

Silakan menilik kembali posting Ego Eimi untuk mengerti bahwa ‘berada dengan kaum papa-miskin’ tidak identik dengan tinggal sedekat mungkin dengan mereka. Poinnya bukan pertama-tama bahwa orang hidup bersama kaum papa-miskin, melainkan bahwa orang punya hati terhadap kaum papa-miskin. Dari hati yang terarah pada kaum papa-miskin itulah muncul aneka pilihan tindakan dan gaya hidup yang semuanya akan dipertimbangkan seturut perspektif perhatian terhadap kaum papa-miskin itu: keadilan sosial. Tak mungkin orang punya hati pada kaum papa-miskin jika ia tak mengambil perspektif keadilan sosial.

Ini curcol, tapi bukan untuk membenarkan diri. Sewaktu saya memberi uang parkir dan tidak ada kembalian, saya bertanya pada jukirnya,”Memang berapa toh, Mas, parkirnya?” Dijawabnya,”Ya seikhlasnya saja, Pak.” Karena dipanggil “Pak”, saya menerawang matanya, njuk dia merogoh kantong dan menyodorkan uang kembalian (dan saya tetap tak tahu berapa semestinya uang parkir di situ).
Batin saya,”Kamu itu juru parkir atau pengemis, kok nyuruh orang lain ikhlas?”
Tapi sudahlah, hidup ini sudah banyak masalah, ngapain cari masalah lagi. Yang penting, orang beriman bersama-sama ‘mematikan diri sendiri’ untuk menemukan ‘hidup abadi’ dalam perspektif keadilan sosial tadi.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati supaya kami semakin menghidupi keadilan-Mu. Amin.


PESTA ST. LAURENSIUS
(Sabtu Biasa XVIII C/1)
10 Agustus 2019

2Kor 9,6-10
Yoh 12,24-26

Posting 2018: Ziarah Tak Kunjung Usai
Posting 2017: Berkat Lorenzo

Posting 2016: Yakin dengan Pilihanmu?

Posting 2015: Ikhlaskanlah…