Ngrasani

Sapi boleh melenguh, tetapi manusialah yang berhak mengeluh, tentu dengan keluhan berkualitas tinggi: dengan kesadaran bahwa yang dikeluhkan dari orang lain itu ada padanannya dalam diri sendiri. Keluhan yang berkualitas rendah berisi litani kesalahan orang lain yang dilakukan juga oleh diri sendiri, meskipun tidak persis sama. Inilah yang mendera batin setiap kali saya hendak mengeluh mengenai orang lain, tetapi mungkin bagus sih: karena gak kuat dengan tekanan batin, malah gak jadi mengeluh.😇

Alih-alih mengeluh, teks bacaan hari ini mengusulkan saran supaya orang beriman memberikan teguran kepada mereka yang berdosa. Ini pun bisa bikin tekanan batin: gimana bisa menentukan orang lain berdosa atau tidak, dengan kriteria apa, dan siapa yang menentukan kriteria itu? Saya cenderung meyakini nasihat teks hari ini sebagai refleksi jemaat penulisnya. Maka, urutannya adalah teguran personal, teguran di hadapan para saksi, kemudian ekskomunikasi.

Nah, dulu, sebelum Konsili Vatikan II, Gereja Katolik kerap mengeluarkan fatwa ekskomunikasi dengan frase akhir: anathema sit. Susah menerjemahkannya: semoga dia dianatema. [Terjemahan teks surat Paulus lebih ngeri: terkutuklah dia! Gal 1,9.] Nah, dianatema itu diapakan, saya susah menerangkannya, tapi di Wikipedia ada keterangan ini sih: dalam penggunaan umum, adalah sesuatu ataupun seseorang yang dibenci atau dijauhi. Penggunaan utamanya yang lain berasal dari Perjanjian Baru dan mengacu pada suatu ekskomunikasi resmi gerejawi. Namun, dalam Perjanjian Lama, anatema mengacu pada sesuatu (yang hidup maupun yang tak bernyawa) yang dikuduskan ataupun sesuatu yang dikecam jahat atau dikutuk dan disisihkan untuk persembahan kurban.

Kalau menilik teks bacaan hari ini, mungkin orang cenderung menganggap seseorang diekskomunikasi setelah ndablêk tak bisa mendengarkan input dari komunitas. Kriteria kedosaan dikonstruksi oleh komunitas. Maka, kalimat “Jika ia tidak mau mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai orang yang tak mengenal Allah atau pemungut cukai” seakan-akan cocok dengan ekskomunikasi tadi: jemaat mengucilkan si anu yang berdosa berat. Maka, ini juga yang membuat batin saya tertekan setiap kali mendengar pengumuman ini: yang berhak menerima komuni adalah mereka yang dibaptis secara Katolik dan tak terhalang dosa berat.

Tentu saja, saya memang pendosa, tetapi apa harus Anda umumkan di mimbar bahwa pendosa seperti saya tak diperkenankan berkomuni? Kategori apa yang ada dalam benak jemaat ketika melihat orang di dekatnya tak berkomuni? Bukan Katolik atau pendosa berat yang hidupnya amburadul!
Loh, Rom, memang perlu diumumkan kok, begitu aturannya. Oh gitu ya? Maaf, saya absen waktu kuliah hukum, tetapi kalaupun betul sampai muncul aturan seperti itu, berarti ada yang gak beres dengan struktur hidup komunitasnya: komunitas pemelihara kultur ngrasani

Bukankah teks hari ini sudah menunjukkan prosedurnya? Lakukan tabayun empat mata, lalu delapan atau sepuluh mata, lalu anggap saja orang itu memisahkan diri dari komunitas (bukan komunitas yang mengeksklusikannya).
Maka, apakah orang yang berdosa berat itu pernah didekati secara personal sebelum ia mendengar pengumuman “dilarang komuni” itu? Belum lagi, apakah orang Kristen non-Katolik tak boleh menyambut Kristus yang dipercayainya? Tambah lagi, apakah saudara-saudari non-Kristen dianggap tak punya kewarasan untuk mengerti bahwa ritual yang mereka hadiri itu bukan ritual mereka sendiri sehingga mereka juga tak merasa terpanggil untuk ikut antre ambil jatah?

Tuhan, ajarilah kami supaya semakin mampu mewujudkan belas kasih-Mu. Amin.


RABU BIASA XIX C/1
Peringatan Wajib S. Maksimilianus Kolbe (OFM)
14 Agustus 2019

Ul 34,1-12
Mat 18,15-20

Rabu Biasa XIX B/2 2018: On Target
Rabu Biasa XIX A/1 2017: Tafsir Kafir
Rabu Biasa XIX B/1 2015: Satu Dunia?

Rabu Biasa XIX A/2 2014: Correctio Oke, Fraterna Tunggu Dulu