Terciduk Allah

Apa jadinya kalau Tuhan itu indifferent bin lèlèh luwèh terhadap ciptaan-Nya ya? Entahlah, mungkin sudah hancur dari zaman dulu.
Lah, apa bukannya selama ini memang Tuhan itu indifferent bin lèlèh luwèh tadi, Rom? Bukankah akhirnya manusia juga yang bikin ulah dan jebulnya ya dibiarkan saja tuh, gak kena tulah, gak kena azab, dan sejenisnya?
Iya sih, tapi yang tampaknya begitu tidak berarti memang begitu kenyataannya.

Hari ini saya memberi sesi untuk extension course di kampus. Topiknya pembedaan roh sebagaimana dirujuk oleh Paus Fransiskus dalam seruan apostolik Gaudete et Exsultate. Bukan topik gampang karena biasanya topik itu dipakai sebagai catatan dalam retret. Padahal tak satu pun peserta sedang melakukan retret. Untungnya pesertanya sabar-sabar, sehingga tak sampai satu per satu mlipir meninggalkan lapangan upacara.

Ada satu hal yang tidak saya sampaikan, tetapi hal itu sinkron dengan tanggapan salah satu peserta: semua wacana kerohanian ini apakah sifatnya tidak terlalu ilahi begitu ya sehingga jadi kurang nyata dalam kehidupan. Bukankah semua wacana itu ujung-ujungnya merujuk pada cinta kasih Allah?
Kalau boleh saya parafrasekan, itu dimaksudkan sebagai adanya kesenjangan antara teori dan praktik. Betul, itu problem klasik, dan malah saya semakin yakin bahwa pembedaan roh itu pada dasarnya adalah tindakan Allah dalam diri manusia, bukan jerih payah manusianya sendiri. Soalnya, kalau itu jerih manusia belaka, tentu ada pertentangan di sana-sini sebagaimana terjadi sampai sekarang.

Sudah sejak lama agama diramal akan habis, tetapi tak ada ramalan yang berlaku untuk sebagian besar agama, malah sebaliknya, agama mendapat panggung di awal milenium ini. Mikhael Gorbachev dalam tulisannya mengenai keterbukaan pada demokrasi di akhir milenium lalu tidak hendak mengembalikan sosialisme yang dulu, melainkan sosialisme berwajah kemanusiaan. Di sini, apa bukannya tampak agama memberi pengaruh? Barangkali di situ malah terlihat bahwa Roh Kudus bekerja juga bahkan dalam dunia yang menolak keilahian, tetapi membuka diri pada kemanusiaan. Padahal, kalau mengingat kata-kata Santo Ireneaus, kemanusiaan yang hidup adalah wajah kemuliaan Allah. Artinya, kalau sekumpulan orang menolak agama demi mewujudkan kemanusiaan, ia sebenarnya cuma memberi kritik kepada agama supaya Yang Ilahi itu menampakkan diri dalam kemanusiaan. Malah klop, bukan?

Di situ, orang menyatakan kerinduannya pada sosok ilahi yang tidak indifferent bin lèlèh luwèh terhadap kemanusiaan. Teks bacaan hari ini menggambarkannya lewat Guru dari Nazareth. Tak ada yang memintanya untuk membangkitkan anak janda Nain. Tindakan itu muncul dari cinta kasihnya. Ia tidak indifferent bin lèlèh luwèh. Demikian halnya Allah yang mahabesar, Dia mesti punya seribu satu cara untuk bertindak juga dalam kemanusiaan, bisa menciduk siapa saja.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat melibatkan diri dalam tindakan cinta-Mu. Amin.


SELASA BIASA XXIV C/1
PW S. Robertus Bellarminus (SJ)
17 September 2019

1Tim 3,1-13
Luk 7,11-17

Selasa Biasa XXIV B/2 2018: Pidato Remember
Selasa Biasa XXIV A/1 2017: Pempimpin Transformer

Selasa Biasa XXIV C/2 2016: Allah Absurd?
Selasa Biasa XXIV A/2 2014: Mendua Hati Bikin Galau

2 replies

    • Pembedaan roh lebih berkenaan dengan penelisikan gerakan afektif dalam diri Pak, jadi tidak terkait dhemit santet dan sejenisnya. Akan tetapi, bisa dimengerti kalau mereka yang berkecimpung dalam dunia santet dan dhemit ini tidak tahan dengan pembedaan roh. Artinya, kalau orang disiplin melakukan pembedaan roh dan penegasan rohani, kemungkinan terkena gelombang santet dan dhemit itu tertutup. Semoga membantu. Berkah Dalem.

      Like