#PakemMemanggil

Transparansi adalah hal yang paling dibenci koruptor. Begitulah kalimat awal posting dua tahun lalu dan kalimat itu masih tetap berlaku. Dengan modal transparansi itu pula kemarin saya terima poster bertagar #GejayanMemanggil. Isinya menyinggung angka keramat 1998, tetapi dengan segala rasa hormat, saya mesti transparan: mbèlgèdhès.

Pertama, mungkinkah gerakan mahasiswa (plus masyarakat) melakukan mobilisasi massa dalam hitungan sehari? Sekarang ini ya mungkin saja, karena infrastruktur komunikasi memungkinkannya; belum lagi dengan sokongan duit, itu bisa diwujudkan. Ini kontras dengan pengalaman 1998: Mei 1998 terjadi karena mahasiswa bergerak dari sel kecil beberapa tahun sebelumnya sampai mengerucut pada kesepakatan bersama bahwa biang kekacauan hidup adalah sosok diktator itu. Jelas targetnya, tetapi dilakukan melalui tahapan, bahkan pada awalnya secara clandestine, karena memang represi membabi buta.
Aksi damai dengan mobilisasi massa singkat ini bagaikan Anda memutuskan menikah dengan orang yang kepadanya Anda jatuh cinta pada pandangan pertama; Anda lupa bahwa menikah adalah soal menghidupi kekuatan dan kelemahan sosok yang Anda jatuhi cinta itu.

Kedua, bahasa propaganda itu perlu dicermati karena bisa jadi memuat kontradiksi atau inkonsistensi. Kalau agendanya kontradiktif dan inkonsisten, massa pendukungnya cuma memanifestasikan diri sebagai korban pembodohan publik.
KPK dilemahkan. Anda harus tahu pelemahannya di mana dan siapa yang melemahkan dan apa kepentingannya, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Hutan dibakar. Anda juga harus tahu hutan mana, siapa yang membakar dan apa kepentingannya, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Papua ditindas. Anda pun harus mengerti penindasan macam apa, siapa yang melakukan penindasan dan apa kepentingannya, siapa yang beruntung dan siapa yang buntung.
Begitu seterusnya sampai pada slogan demokrasi dikebiri. Anda harus tahu demokrasi itu apa dan siapa yang melawan demokrasi, kepentingannya apa, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Nah, kalau semua elemen itu konsisten menunjuk bahwa pihak pelaku dan yang diuntungkan mengerucut pada satu pihak kunci, Anda punya alasan kuat untuk aksi diam atau aksi cerewet, aksi damai atau aksi agak damai.
Akan tetapi, kalau sasarannya itu ada macam-macam pihak yang jebulnya kepentingannya juga berseberangan, njuk aksi itu mau disorongkan ke mana? Itulah yang saya maksudkan mbèlgèdhès tadi.

Poin saya, kalau Anda protes, bikin aksi, ya perjelaslah targetnya, pokok persoalannya apa dan pressure hendak diberikan kepada siapa. Kalau mau protes pemerintah, perlu diperjelas pemerintah yang mana, dan mungkin siapa persisnya.
Ha yang ngawur, misalnya, legislatif mosok yang dituntut eksekutif?😂😂😂
Memang pemilu sudah usai, tetapi bisa jadi agenda pihak tertentu belum selesai, dan justru inilah yang bisa bikin runyam dan menunggangi mobilisasi massa macam begini. Memang jadi mahasiswa berkesadaran politik sekarang tidak lebih gampang karena terlalu banyak kedok yang mesti dibongkar, dan seperti sudah saya bilang dalam kursus pembedaan roh, yang bikin runyam selalu ialah bahwa roh jahat bisa mengambil kedok roh baik. Susah membongkarnya.

Tuhan, mohon perlindungan-Mu bagi para pemimpin yang secara tulus berupaya membawa perubahan baik di negeri ini. Amin.


SENIN BIASA XXV C/1
23 September 2019

Ezr 1,1-6
Luk 8,16-18

Senin Biasa XXV B/2 2018: Secret Admirer
Senin Biasa XXV A/1 2017: We All Feel Better in the Dark?
Senin Biasa XXV C/2 2016: Koruptor, Motivator, Provokator

Senin Biasa XXV A/2 2014: Sorry, I have no time to pray