Toss Dulu

Memang disayangkan bahwa demonstrasi mahasiswa berujung kericuhan. Akan tetapi, yang positif, sekurang-kurangnya pressure yang mereka berikan mengawal imbauan Presiden untuk menunda pelaksanaan RUU yang bermasalah dan agenda penunggang aksi mahasiswa ini tidak mendapat panggung utama. Saya tidak tahu apakah tanpa pressure demo mahasiswa ini imbauan Presiden dijalankan oleh DPR. Saya juga tidak tahu politik apa yang dijalankan Presiden sehingga sikap terhadap RKUHP dan UU KPK tampak berbeda. Cuma satu hal yang saya yakini, kepada seorang presiden tentu disampaikan aneka macam perspektif yang lebih luas daripada perspektif yang saya punya. Keluasan perspektif inilah yang memungkinkannya mengambil langkah secara tertentu, yang tidak begitu saja mudah dipahami oleh pengamat dengan perspektif tertentu.

Maka dari itu, saya mlipir saja dari persoalan detail di seputar demonstrasi RUU dan UU. Semestinya memang warga negara memahaminya baik-baik, tetapi saking banyaknya RUU (yang terbengkalai?) dan UU (yang aneh?), tidak setiap warga negara sanggup memahaminya baik-baik sebelum terkena pasal tertentu. Iya gak? Lha iyalah, wong pengendara yang tetap putar balik di jalan dengan tanda larangan saja masih tetap putar balik kok, dan begitu dari balik pohon muncul polisi yang hendak menilangnya lalu protes “polisi bukannya menjaga ketertiban malah memanfaatkan rambu lalu lintas”! 😂😂😂
Idealnya, yang diprotes adalah peraturannya. Maka, perlu kajian komprehensif, dan dengan demikian, mereka yang demo mengerti kajian komprehensif dulu sebelum berteriak-teriak secara lantang di lapangan, seraya waspada dalam wujud teknis koordinasi di lapangan yang efektif untuk menarik diri dari penunggang-penunggang gelap. Kalau tidak begitu, nanti ujung-ujungnya cuma jadi excuse,”Maaf, gak sengaja” jika terjadi kericuhan. Lha sudah telanjur ricuh…

Saya mlipir ke teks bacaan hari ini yang menyodorkan beberapa bekal bagi orang beriman untuk menjalankan misinya. Pertama, tak bertele-tele dengan sangu, yang berarti mengandaikan adanya kepercayaan terhadap hospitalitas orang-orang yang akan dijumpai. Di balik kepercayaan ini ada sikap inklusif, tidak rewel atau rese’ karena perbedaan. Kedua, menghargai kultur yang sudah ada dan berpartisipasi dalam hidup dan kerja orang setempat. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjunglah. Belajar bahasa setempat senantiasa lebih simpatik daripada membawa-bawa bahasa asing. Ketiga, sedapat mungkin mengembalikan orang yang tereksklusi dari komunitas setempat (dipersonifikasi sebagai orang sakit dan kerasukan). Aktivitas memecah keutuhan komunitas justru kontraproduktif terhadap pewartaan kabar gembira. Keempat, makan minum seperti orang setempat melakukannya. Pada kenyataannya, belum tentu orang bisa menyantap makanan lokal dengan alasan apa pun, tetapi apa mau dikata, ini juga prinsip penting dalam pewartaan bahwa kabar baik yang hendak disampaikan memang berlaku universal. Poinnya bukan lagi benar-salah, melainkan orang hendak mengalami persekutuan, berkomunitas dengan orang setempat. Lebih bagus lagi kalau ini bukan modus, tentu saja. Toss dulu deh.

Tuhan, mohon rahmat cinta-Mu supaya kami semakin dapat mempersaksikan bahwa Engkau adalah rahmat bagi semua makhluk-Mu. Amin.


RABU BIASA XXV C/1
25 September 2019

Ezr 9,5-9
Luk 9,1-6

Rabu Biasa XXV B/2 2018: Du sollst nicht lügen
Rabu Biasa XXV A/1 2017: Simple is Better, Hopefully
Rabu Biasa XXV B/1 2015: Traveling Light

Rabu Biasa XXV A/2 2014: Apa yang Terpenting?