Tengkyu, Mbak

Refleksi hari ini singkat saja ya (tapi tetap mendekati 500 kata sih😂😂😂), berangkat dari pengalaman yang barangkali tidak boleh Anda tiru di tempat lain. Janganlah Anda menggombal kepada pramusaji di restoran. Itu tidak sopan, dan saya melanggar kesopanan itu untuk membuat observasi kecil, meskipun saya tidak menggombal juga sih. Saya serius, tetapi saya lihat-lihat dulu pramusajinya. Kalau terlihat sedang berbeban berat karena banyaknya pelanggan, misalnya, tentu tak akan saya lakukan.

Gombalan saya sederhana sekali. Eh, tetapi, sekali lagi, ini bukan gombal karena memang saya menyatakannya sungguh-sungguh, bukan juga untuk memikat atau menarik hati mereka. Begitu pramusaji ini menyodorkan pesanan saya, entah ia berkata sesuatu atau tidak, saya mengucapkan terima kasih, lalu kadang saya tambahi,”Mbak ini kok baik sekali sih mau mengantarkan pesanan ini ke sini?” Tentu saya bilang begitu bukan karena saya tak tahu duduk perkaranya: itu memang tugasnya dia. Akan tetapi, saya tidak menyatakan itu untuk menunjukkan kebodohan saya karena tak usah saya tunjukkan pun kebodohan saya sudah terlihat. Saya menyodorkannya untuk melakukan observasi kecil.

Dari sekian belas ‘percobaan’, hampir semuanya berefek positif: membuat pramusaji itu gembira, entah karena ge er atau karena bebannya jadi ringan karena sepatah kata ungkapan terima kasih. Hampir semuanya menyunggingkan senyum karenanya. Akan tetapi, satu reaksi yang jadi landasan saya membaca teks bacaan hari ini adalah seorang pramusaji yang tersipu malu mengatakan, “Ya itu memang sudah pelayanan kami, Pak.” Sebetulnya saya mau protes karena dia menyebut saya “Pak” padahal saya menyebutnya “Mbak” [tahu gitu tadi saya panggil mbah aja ya mestinya], tapi apalah artinya protes itu. Lebih baik terima saja usia bapak-bapak ini toh?😂😂😂

Tanggapan mbak-mbak yang tersenyum lebar itu menunjukkan kepada saya Kerajaan Allah yang diumpamakan Guru dari Nazareth sebagai biji sesawi. Ia mengingatkan saya pada saran Mother Teresa: Not all of us can do great things. But we can do small things with great love. Itulah Kerajaan Allah. Tak usah bertele-tele, dan dengan bertele-tele pun toh persoalannya tidak semakin jadi gampang.
Yang penting bukan seberapa besar kekuasaan atau hebatnya pekerjaan orang ditinjau dari capaian materialistiknya, melainkan cinta yang menyertai pekerjaannya. Artinya, perhatian dan keterbukaan kepada misteri iman yang dirintis dan dititi dalam hal-hal sederhana (karena keharusan, kewajiban) itulah yang memungkinkan orang mengalami Kerajaan Allah. Untuk itu dibutuhkan kesetiaan, ketekunan, kemerdekaan, kegembiraan, ketenangan, keheningan, kedamaian… lah kok banyak banget jebulnya. Untuk melakukan hal-hal sederhana secara kontinyu memang dibutuhkan cinta dan kalau cinta itu hadir, begitulah Kerajaan Allah. Persoalannya, tak banyak orang yang menghargai cinta sesuai tempatnya. Orang mereduksi cinta dengan gagasannya sendiri dan apa-apa saja yang dilakukannya malah tidak mewakili ketekunan, kemerdekaan, kegembiraan, ketenangan, keheningan dan seterusnya tadi. Kerajaan Allah luput dari hidupnya, atau hidupnya terpinggirkan dari Kerajaan Allah itu.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan dan kesetiaan pada cinta-Mu supaya kami dapat menjalankan tanggung jawab hidup kami dengan kegembiraan dan kemerdekaan. Amin.


SELASA BIASA XXX C/1
29 Oktober 2019

Rm 8,18-25
Luk 13,18-21

Selasa Biasa XXX B/2 2018: Micin Ganti Presiden
Selasa Biasa XXX A/1 2017: Agama Tempe
Selasa Biasa XXX C/2 2016: Tak Ada Selain Dirimu

Selasa Biasa XXX B/1 2015: Let It Go