Kemarin siang, bak disambar petir, saya mendapat pertanyaan dari orang muda, ya persisnya sesama orang muda sih, cuma umur saya dah hampir tiga kali lipat umurnya😂😂😂. Begini pertanyaannya, bikin mak jleb: Apa perlu tujuan hidup?
Mati kowe! Gimana jawabnya, coba? Kalau ditanyai begitu, akankah Anda jawab ‘tidak perlu’? Enggak, kan? Maksud saya, tentu Anda jawab ‘perlu dong‘, bukan? Itulah juga jawaban saya.
Tetapi pertanyaan seperti itu bukan jenis pertanyaan dengan jawaban yes-no doang. Bagian tersusahnya ialah memberikan pengertian mengapa diperlukan tujuan hidup; dan mungkin saya tak berhasil memberikannya…
Bacaan pertama hari ini adalah teks yang dulu dipromosikan Ahok. Saya tak ambil pusing dengan promotornya, tetapi teks ini memang cocok untuk pertanyaan tadi: tak seorang pun di antara kita ini yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri. Hidup mati orang itu tertuju pada Liyan, ‘sesuatu’ yang lain dari egonya sendiri, karena ego tak memiliki jiwa seseorang bahkan meskipun jelas orang memaksakan egonya untuk memiliki jiwanya. Dalam bahasa Paulus, ungkapannya berbau religius: jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi, baik hidup maupun mati, kita adalah milik Tuhan. Mati kowe! [Dua kali mati dong.]
Saya tak ingat lagi di mana seorang filsuf Martin Buber menyitir kata-kata seorang rabbi Yahudi yang menghimbau orang beriman untuk mempertimbangkan tiga hal: tahu dari mana dia berasal, tahu ke mana dia pergi, dan tahu di hadapan siapa dia akan memberi pertanggungjawaban hidupnya.
Itu bukan tiga hal yang mudah dijawab karena jawabannya senantiasa ada dalam rebutan pengaruh dalam hidup seseorang. Bisa dimengerti juga, karena sebagaimana ada GPS yang menyesatkan, rebutan pengaruh tadi juga bisa menyesatkan.
Orang mengira dirinya sudah bahagia, tetapi kenyataannya hanya bahwa dengan sedikit modal saja untungnya berlimpah ruah. Itu hukum ekonomi, dan tentu saja namanya untung besar, orang senang-senang saja. Usaha sedikit, belajar sedikit, bekerja sedikit, bayarannya banyak, ya menyenangkan dong. Akan tetapi, menyenangkan jelaslah tidak identik dengan membahagiakan karena yang pertama merujuk pada hasilnya, sedangkan yang kedua mencakup prosesnya juga. Alhasil, kebahagiaan tidak terletak pada keadaan yang menyenangkan, hukum ekonomi yang berpihak pada kaum pemodal, tetapi pada visi orang untuk mengoptimalkan apa saja yang pantas dioptimalkan dalam hidup sosial manusia: waktu, uang, relasi…
Memang repot, Tuhan itu rupanya bukan hanya jadi asal dan tujuan hidup manusia, melainkan juga jalan, guide, sekaligus bahan bakarnya. Di hadirat Tuhan seperti ini, bisa jadi orang merasa berat berjalan justru karena mau mengandalkan kekuatannya sendiri. Kemarin saya baca ada pengakuan mantan teroris yang mengutarakan prosesnya jadi teroris dengan kedok agama. Jelaslah, itu cuma kegagapan orang menghadapi gerak cepat kemajuan dunia karena ia cuma punya satu perspektif dan meremehkan perspektif lain bahkan memusuhinya. Alhasil, orang bisa mendaftarkan diri jadi anggota pasukan berani mati tanpa tahu betul untuk apa hidup mati mereka selain perspektifnya sendiri.
Tuhan, mampukanlah kami senantiasa bertobat. Amin.
KAMIS BIASA XXXI C/1
7 November 2019
Kamis Biasa XXXI B/2 2018: You Are Precious
Kamis Biasa XXXI C/2 2016: Muter-muter Yuk
Kamis Biasa XXXI B/1 2015: Allah Jaga Jarak
Kamis Biasa XXXI A/2 2014: Untung Rugi, Aku Tahu
Categories: Daily Reflection