Sontoloyo Cerdik

Mengapa orang baik kalah cerdik dari orang jahat? Padahal, kecerdikan itu tak identik dengan kejahatan. Entahlah mengapa. Silakan Anda jawab sendiri ya. Tentu itu pertanyaan umum. Pada kenyataannya ada juga kok orang baik yang lebih cerdik dari orang jahatnya. Mengenai kecerdikan atau mungkin kesontoloyoan orang baik, saya pernah ceritakan dalam posting Justru Karena Berat dan Come and See Again. Kalau butuh intermezzo, silakan buka kembali.

Saya tergerak untuk mengapresiasi Menteri Agama yang mengutarakan antisipasinya dengan pernyataan yang menurut saya cerdik: cadar dan takwa tak ada hubungannya. Itu tak hanya berlaku bagi cadar, tetapi juga bagi atribut atau label lainnya yang terkait dengan agama. Saya tak hendak masuk dalam konten perdebatannya, karena saya yakin pastilah ada banyak interpretasi mengenai cadar. Bagi saya, pernyataan itu penting karena dilontarkan seorang Menteri Agama. Kalau yang melontarkan dosen saya mah, sudah lumrah.

Cerdiknya ialah bahwa pernyataan itu mengakomodasi beberapa pihak, yaitu mereka yang sungguh ingin mengembangkan ketakwaan dan memerangi radikalisme, tetapi juga mereka yang sungguh ingin menyemaikan benih fanatisme dengan politik identitasnya. Bagi mereka yang ingin bertakwa dan memerangi radikalisme, pernyataan itu jadi reminder bahwa melarang penggunaan cadar bukanlah sufficient condition bagi pemberantasan radikalisme. Tanpa cadar atau celana cingkrang pun orang bisa jadi pendukung atau aktor radikalisme. Bagi mereka yang fanatik dengan politik identitas, pernyataan itu juga jadi reminder untuk mencari necessary condition selain cadar, kalau kekuasaan memutuskan pelarangan penggunaan cadar, misalnya.

Sekali lagi, saya tak akan masuk ke konten perdebatan mengenai cadar. Pertanyaan saya hanya kelanjutan dari pernyataan Menteri Agama itu: apa yang menjadi sufficient condition bagi ketakwaan?
Saya tidak menemukan jawaban selain hidayah Allah sendiri.

Semua yang diupayakan oleh manusia untuk ketakwaan itu hanyalah necessary conditions. Guru, seampuh apapun, termasuk Guru dari Nazareth, hanya memberikan kondisi-kondisi yang diperlukan orang untuk semakin beriman. Apakah kondisi itu mencukupi, bergantung pada apakah hidayah Allah connect dengan subjek orang yang dididik itu. Guru dari Nazareth bahkan tak berhasil mendidik seluruh rasulnya, dan salah satunya berkhianat. Artinya, hidayah Allah tak sampai kepada semua.

Apa sih hidayah Allah ini? Saya tidak tahu etimologi atau pun tafsir dalam bahasa asalnya. Akan tetapi, belajar dari teks bacaan pertama hari ini, saya mengerti bahwa itu adalah ranah ruang batin manusia yang terbebaskan dari aneka kepentingan horisontal dengan segala atributnya. Paulus menulis kepada orang-orang Roma bahwa ia hendak mewartakan kabar gembira kepada bangsa bukan Yahudi: supaya mereka yang belum menerima kabar tentangnya, akan melihatnya, dan mereka yang tidak pernah mendengarnya, akan mengertinya.
Haaaa, Romo korupsi! Di teks tertera ‘kabar tentang Dia’ dan ‘melihat Dia’.
Persis itulah, karena ‘Dia’ tidak bisa direduksi pada sosok Guru dari Nazareth. ‘Dia’ adalah kabar gembira itu, yang hadir di mana pun, dan tugas orang beriman hanyalah memberikan necessary conditions supaya ‘Dia’ itu ditangkap dalam aneka struktur agama, bukan justru dikurung dalam satu agama. Begitulah juga hidayah.

Ya Tuhan, mampukanlah kami semakin mencintai-Mu. Amin.


JUMAT BIASA XXXI C/1
8 November 2019

Rm 15,14-21
Luk 16,1-8

Jumat Biasa XXXI B/1 2017: Kue Susun Rumah Lapis
Jumat Biasa XXXI C/2 2016: Cerdas dan Humanis

Jumat Biasa XXXI B/1 2015: Cinta Kok Wajib
Jumat Biasa XXXI A/2 2014: DPR DaPuRmu