Tahun ini, bersamaan dengan pesta pemberkatan Basilika Lateran yang dirayakan Gereja Katolik, umat Islam merayakan pesta Maulid Nabi Muhammad SAW. Saya tidak perlu mengada-ada bahwa Basilika Lateran jadi simbol kelahiran Gereja di seluruh kekaisaran Roma pada awal abad ke-4 sehingga pantas dijuluki sebagai ibu semua gereja sehingga baik pesta umat Islam dan Gereja Katolik sama-sama menyangkut pesta kelahiran. Ini dua pesta yang berbeda, tetapi toh sama-sama pesta.
Minggu lalu saya terima klip video Bapak Kardinal I. Suharyo menyampaikan dongeng budaya bersama Kang Sobary dalam acara bulan lalu yang digelar oleh PARA Syndicate. Dongeng pertama yang disodorkan beliau adalah sebuah barzelletta yang bisa dilihat pada tautan video ini, atau di salah satu buku karangan Anthony de Mello, yang saya sitir dalam buku Saat Tuhan Tiada. Dari anekdot singkat itu saya hanya mengambil pesan pembedaan yang tak relevan, tetapi Bapak Kardinal menaruh catatan yang lebih teologis: manusia memisah-misahkan, Allah mempersatukan. Tentu saya bisa membaliknya: Allah menciptakan pluralitas, manusia mau menyeragamkan. Akan tetapi, toh pada akhirnya Allah mempersatukan juga dalam perspektif terluasnya. Jadi, ya tetaplah meskipun dua pesta ini berbeda, sama-sama pesta #lah…
Kalau teks bacaan hari ini bicara mengenai ketubuhan yang mengatasi badan fisik yang menampakkan jiwa Guru dari Nazareth, bukankah ketubuhan macam itu pula yang dibangun umat Islam dalam merayakan Maulid Nabi? Ini bukan soal mengagung-agungkan kelahiran Nabi sebagai anak dewa, melainkan kelahiran sosok pribadi yang membangun keumatan yang berpusat pada Allah yang Mahabesar, maha pemurah lagi penyayang. Kalau begitu, mengapa orang mesti berperang lantaran atribut ‘nabi’? Bukankah atribut itu cuma dilahirkan oleh kognisi? Mengapa orang mesti meributkan atribut ‘teroris’? Bukankah atribut itu cuma dipupuk kaum radikalis?
Ndelalahnya kemarin Menteri Agama dihimbau untuk belajar agama karena dianggap tak paham mengenai radikalisme. Saya juga gak tau sih apakah Menteri Agama paham radikalisme, tetapi himbauan untuk belajar agama saya kira tak hanya berlaku bagi beliau, tetapi juga orang yang menghimbaunya. Belajar agama itu sepanjang hayat, apalagi kalau memperhitungkan agama lain, sampai kiamat.
Memang umat beragama itu haruslah radikal, punya akar yang kokoh, punya pondasi yang kuat. Akan tetapi, kalau sifat itu dipertuhankan dengan -isme, keadaannya jadi berbeda: apa-apa saja mau dianggap sebagai akar dan pondasi. Hanjuk yang jadi batang, ranting, daun, bunga, buah yang mana? Kalau semua yang berbau-bau agama dianggap sebagai akar kebertuhanan, tak mengherankan polemik cadar dan celana cingkrang mencuat. Di satu pihak, orang menuntut kebebasan beragama termasuk untuk bercadar cingkrang. Di lain pihak, orang mulai sadar pentingnya identitas sosial, kenyamanan, dan keamanan publik.
Maulid Nabi mengingatkan saya pada sosok pribadi yang mengundang orang untuk berserah, kembali ke fitrah, mau menelanjangi diri di hadirat-Nya. Orang yang memenuhi undangan Nabi ini senantiasa waspada bahwa pilihan-pilihan konkretnya senantiasa punya implikasi sosial, yang mesti dihadapi dengan orientasi kembali ke akar. Orang yang kembali ke akar, alih-alih memutlakkan produk kognisi, akan mengasah hati dalam budi pekerti. Akhirnya, selamat Maulid Nabi.
PESTA PEMBERKATAN BASILIKA LATERAN
(Sabtu Biasa XXXI C/1)
9 November 2019
Yeh 47,1-2.8-9.12
1Kor 3,9b-11.16-17
Yoh 2,13-22
Posting 2018: Jual Beli Tubuh
Posting 2017: Beriman Juga Mikir
Posting 2016: Penista Tuhan
Posting 2015: Gereja Tak Butuh IMB
Posting 2014: Sedang Bikin House atau Home?
Categories: Daily Reflection