Allah Zaman Now

Seorang dokter yang juga doktor kemarin mengirim contoh gambar kaos; mungkin beliaw ini sedang diversifikasi pekerjaan dengan merintis usaha bikin kaos. Kaos itu dipakai seorang anak gadis ceria dengan tulisan begini: Jesus wasn’t vaccinated. Sepertinya ini propaganda untuk mereka yang malas atau bahkan anti vaksinasi dan alasan rohani disodorkan: Yesus aja gak vaksinasi! Komentar yang mengundang tawa saya adalah: setan juga enggak vaksinasi!

Tentu kalau seorang doktor dokter mengirim bahan tulisan, insight yang hendak disodorkannya bukan guyonan sederhana begitu. Belio ini juga sudah mengantisipasi bahwa hari ini Gereja Katolik memperingati seorang suci yang masih muda belia bernama Stanislaus yang meninggal karena tidak ikut program vaksinasi. Lagipula, kalau seorang dokter yang juga doktor itu mengirim bahan ke yuniornya, tentu maksudnya supaya guyonan sederhana itu dibuat rumit sedikit supaya semakin jelaslah tugas mahasiswa doktoral: memperumit hal yang gampang.😂😂😂

Propaganda itu adalah contoh ‘ekstrem kanan’ yang berseberangan dengan ‘ekstrem kiri’. Kanannya agama, kirinya sains. Jadi, sekarang Anda temukan contoh ‘ekstrem kanan’ dalam gerombolan pengikut Yesus. Di mana letak ekstremnya? Apakah mereka ini tidak percaya sains? Mungkin ya percaya, tetapi lebih percaya Tuhan dong! Apakah keyakinan ini keliru? Ya tidak, mosok lebih percaya Tuhan keliru. Kelirunya ialah bahwa Tuhan itu hendak dikerangkeng di masa lalu: dulu nabi gak gitu juga gapapa, dulu orang suci itu puasa sebulan juga baik-baik aja, dulu minum anggur juga gapapa, dan seterusnya. Pokoknya, dulu dulu dulu. Orang butuh Allah yang dulu (kerja sebagai pencipta, sebagai penuntun umat, sebagai panglima perang), tetapi tak hendak menjalin relasi dengan Allah yang sekarang, yang mahahadir, dan seterusnya.

Persis di situlah kerumitannya: bagaimana menjalin relasi dengan Allah yang omnipresence, dan bukannya Allah jadul?
Membangun relasi dengan Allah yang jadul itu gampang. Ambillah teks agama dan tinggal ikuti saja apa yang tertera di situ, tak usah menafsirkannya macam-macam. Kalau teksnya bilang cungkillah matamu, ya silakan cungkil. Kalau teksnya menyarankan jangan makan katak, ya jangan makan katak; makanlah swikee.
Membangun relasi dengan Allah zaman now senantiasa rumit karena orang mesti menemukan moderasi antara ekstrem kanan dan kiri. Betul orang beriman mesti menyerahkan hidupnya kepada Allah, tetapi penyerahan hidup kepada Allah itu justru tampak nyata dalam kerja dan upaya penuh syukurnya.

Lha, omong-omong mengenai kerja penuh syukur itu, selain saya dapat dari narasi teks bacaan hari ini, juga saya peroleh dari quote adik kelas saya Simon Sinek [beda sekolah, beda jurusan, dan gak kenal juga sih]: Working hard for something we don’t care about is called stress; working hard for something we love is called passion.
Kalau begitu, membangun relasi dengan Allah zaman now adalah soal menangkap passion dalam diri, soal mencinta dalam penuh syukur bahkan terhadap variabel hidup yang bisa berubah-ubah. Dalam cinta penuh syukur itu Allah lebih leluasa bergerak menjadi Allah daripada kepasrahan orang yang lari dari tanggung jawabnya.

Tuhan, berilah kami rahmat kepekaan untuk mewujudkan cinta-Mu. Amin.


RABU BIASA XXXII C/1
PW S. Stanislaus Kotska (SJ)
13 November 2019

Keb 6,1-11
Luk 17,11-19

Rabu Biasa XXXII B/2 2018: Khilaf Ah
Rabu Biasa XXXII A/1 2017: Agama Najis
Rabu Biasa XXXII B/1 2015: Utamakan Selamat

Rabu Biasa XXXII A/2 2014: Revolusi Mental Pengemis