Setelah bom bunuh diri di Medan kemarin, saya membaca uněg-uněg Mas Eko di tautan ini, yang sepenuhnya saya sepakat. Tulisan-tulisannya yang lain menurut saya juga sangat baik diperhatikan demi perkembangan bangsa Indonesia, tetapi juga perkembangan keislaman. Sudah lama orang terjebak oleh pendekatan esensialis terhadap agama dan dengan mudahnya menghakimi dengan tolok ukur hitam putih. Kalau uněg-uněg Mas Eko ini tak dipertimbangkan dengan jernih, bisa jadi lembaga yang semestinya mengembangkan keislaman di Indonesia malah tak kunjung usai membahas soal larangan salam-salaman dan ucap-ucapan, sementara sudah sekian ratus tahun di Timur Tengah sana orang Kristen dan Islam bertegur sapa dengan ucapan berbahasa Arab. Terus terang, keadaaan ini sebetulnya disgusting.
Akan tetapi, tak perlu buruk sangka dulu seakan-akan Mas Eko itu niatnya memojokkan lembaga keislaman. Saya malah melihatnya positif karena di situ disodorkan harapan yang baik, supaya aneka persoalan diselesaikan, bukan dengan mengingkari, melainkan dengan mengakui dan mencari di mana letak kekeliruannya supaya bisa diperbaiki. Karena itu, menyangkal kenyataan yang terang benderang, tak akan menyelesaikan masalah. Akuilah bahwa setiap agama punya potensi radikalisme. Saya kasih contoh kemenangan John F. Kennedy di tahun 1960 di antara mayoritas Protestan di West Virginia yang bisa jadi anti-Katolik. Keterpilihannya sebagai presiden menunjukkan bahwa the American people had a greater capacity for inclusion than their preachers and theologians did. Artinya, memang ada pengkhotbah atau pemuka agama yang menyerukan penolakan terhadap kekatolikan di tanah Amerika, tetapi rupanya umatnya sendiri lebih terbuka pada kenyataan yang sebenarnya.
Potensi radikalisme itu ada di setiap agama dan justru pengakuan akan hal itu membantu agama untuk mengatasinya. Saya sampaikan rahasia salah satu jalur benih radikalisme dalam agama Katolik, tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Itu adalah liturgi, Saudara-saudara. Di bidang lainnya masih ada namanya kemurahan pastoral, tetapi kalau sudah masuk ranah liturgi, Anda bisa dicap laksis, tak cinta Gereja, mau seenak sendiri, dan seterusnya. [Mungkin Anda pernah baca tulisan di blog ini yang mendapat beberapa tanggapan sangar: Saya Ditegur Uskup.] Kenapa? Karena memang dalam ranah liturgi itulah diatur macam-macam tata ucapan, tata gerak, tata upacara, baik umat maupun pastornya. Nyeleweng dari itu… hehehe…. Anda disilang merah, dan orang-orang akan berusaha supaya mereka tidak disilang merah dengan cara mengikuti kursus liturgi yang bersih dari silang merah, seakan-akan hakikat liturgi terletak pada silang merah dan centang hijaunya.
Teks bacaan hari ini mengingatkan saya pada seorang ahli sejarah Amerika yang melihat dengan cara pandang berbeda. Sementara orang umumnya memandang Islam dengan pendekatan esensialis hitam putih sebagai agama teror, apalagi pasca 11 September 2001, dia melihat sejarah hubungan Islam-Kristen sebagai dua bersaudara yang belum juga mau mengakui relasi persaudaraan mereka; ya seperti kakak adik yang tidak akur begitulah. Kerajaan Allah sudah ada di tengah kehidupan, tetapi kakak adik yang tak akur ini membuat Kerajaan Allah itu jadi bl(aw)ur.
Tuhan, ajarilah kami melihat cinta-Mu dalam diri sesama. Amin.
KAMIS BIASA XXXII C/1
14 November 2019
Kamis Biasa XXXII B/2 2018: Butuh Desain Interior
Kamis Biasa XXXII A/1 2017: Papa di Mana?
Kamis Biasa XXXII C/2 2016: Sudah Jago?
Kamis Biasa XXXII B/1 2015: Ini Bukan Ruang Tunggu
Kamis Biasa XXXII A/2 2014: Ganti Lensa Biar Fokus
Categories: Daily Reflection