The liberation of the head is wisdom. The liberation of the heart is love. The liberation of the senses is beauty. The liberation of acting is the rites.
Itu ungkapan hati seorang filsuf tetangga sebelah (jauh banget) yang hidup di akhir abad ke-19. Saya lupa namanya, seperti biasa gitu deh: ingat wajah lupa nama, ingat nama lupa wajah. Kalau filsuf yang ini saya tak ingat namanya dan tak tahu pula wajahnya. Pokoknya ambil saja puisinya itu. Maklum, saya kan sarjana sastra, mau ambil duitnya juga tidak bisa.
Saya tidak tahu bagaimana Anda menafsirkan puisi itu. Kalau saya, kira-kira begini: kebijaksanaan meleluasakan pikiran, cinta membebaskan hati, keindahan membentangkan indra, ritual melegakan aksi.
Artinya, kalau pikiran orang cupet, itu indikasi bahwa ia kurang bijak. Kalau hatinya buntet, itu juga petunjuk bahwa ia kurang cinta. Begitu juga kalau indranya mampet, keindahan tak menyenggolnya. Terakhir, kalau aksinya lelet atau byar-pet, itu pertanda ritualnya rutin belaka.
Mengenai yang terakhir ini, mungkin perlu saya ulangi kembali bahwa rutinitas itu pada dirinya tidak negatif karena bahkan secara biologis orang membutuhkan rutinitas. Kebanyakan memang tidak disadari. Haiya, mosok Anda mesti sadar kapan sel-sel tubuh Anda mati dan berganti yang baru? Mana mungkin Anda menghitung hari memelototi luka sampai kulit baru mengembalikan keadaan seperti sedia kala? Tidak mungkin. Anda mesti menghentikan pelototan itu untuk memenuhi rutinitas lainnya: usus dan cacingnya berteriak-teriak minta asupan esgrim atau kue tart! Tanpa rutinitas, mau jadi apa semesta ini? Ancur!
Akan tetapi, kalau hidup manusia itu tak lebih dari rutinitas, tindakannya suam-suam kuku tadi: byar-pet, lelet, lama-lama merembet ke ranah lainnya; indranya mampet, hatinya bundet, pikirannya cupet, hidupnya jadi pret doang (kan dah gak boleh pakai kam).
Teks bacaan pertama memang memuat puisi filsuf tadi dengan rumusan yang lebih keras: bodohlah mereka yang merasa diri melihat keindahan tanpa mengenal senimannya. Betul. Orang bisa mengagumi apa saja yang di depannya dan kemudian gejolak nafsu kekuasaannya menggelegar untuk menaklukkan apa saja yang di depannya. Ia lupa diri bahwa ia tak menciptakan indranya sendiri dan tak peduli orientasi ilahi dari segala keindahan duniawi. Akibatnya, keindahan duniawi itu hendak dikuasai sampai nafas berhenti.
Di situlah teks bacaan kedua jadi kunci. Nafas berhenti itu kebanyakan tak diketahui orangnya sendiri kapan terjadinya, tetapi Guru dari Nazareth mengingatkan orang bukan soal kapan terjadi dan bagaimananya nafas berhenti. Ilustrasinya mungkin divisualisasikan secara cool dalam film Avengers: Endgame. Akan tetapi, Guru dari Nazareth berpesan soal bagaimana orang mesti bersikap di hadapan ‘nafas berhenti’ itu tadi. Bukan kapannya, melainkan bagaimananya orang beriman bersikap: tak usahlah berusaha memelihara nyawa supaya tak kehilangan nyawanya.
Tuhan, ajarilah kami untuk memberi nyawa, memberi jiwa, memberi semangat pada rutinitas hidup kami. Amin.
JUMAT BIASA XXXII C/1
15 November 2019
Jumat Biasa XXXII B/2 2018: Enjoy Your Life
Jumat Biasa XXXII A/1 2017: Papa Bisa Aja
Jumat Biasa XXXII C/2 2016: Post-Power Syndrome
Jumat Biasa XXXII B/1 2015: Kenal Dalangnya?
Jumat Biasa XXXII A/2 2014: Semakin Rohani Semakin Lembut
Categories: Daily Reflection