Seperti memilih jodoh untuk komitmen hidup bersama, doa bukanlah daftar belanjaan yang disodorkan kepada Allah supaya dipenuhi satu per satu. Celakanya, tak sedikit orang beragama yang cara berpikirnya ya seperti itu: hanya aku yang ngerti kebahagiaanku dan aku tahu apa saja yang membahagiakan aku, jadi plis, Tuhan, kondisikan ya! Sesuaikan semua karunia seturut kriteria kebahagiaanku itu. Di balik itu asumsi itu malah jebulnya juga ada konsep sesat mengenai Allah sebagai asisten rumah tangga.
Saya belajar dari paham Allah orang Kristen sebagai bapak, tapi pasti bukan seperti bapak anu atau inu. Tak ada bapak di dunia ini yang mencerminkan kebapakan Allah karena mesti adaaaaa aja luputnya. Kalau gak pelit banget ya terlalu royal, kalau gak galak banget ya terlalu tenang, kalau gak protektif banget ya masa bodoh, kalau gak rajin banget ya gak tanggung jawab, dan seterusnya. Ada sih bapak yang baik banget, penuh perhatian, tanggung jawab, sabar dan tegas, asertif, penuh persahabatan, duitnya banyak, wawasannya luas, bisa diajak wefie, tak suka ngerumpi. Tapi, adanya dalam mimpi.
Tidaklah mudah meyakini apa yang tersirat dalam teks bacaan hari ini bahwa Allah jauh lebih mengerti kebutuhan orang, bahkan daripada orang yang bersangkutan sendiri. Allah jauh lebih mengenal Anda, Allah lebih dekat dengan Anda, daripada Anda dengan diri Anda sendiri.
Karena itu, doa yang benar dan baik dan cocok senantiasa adalah doa untuk mengadaptasi diri dengan gerak kemajuan hidup, dan bukan semata menyesuaikan lingkungan luar dengan kenyamanan diri sendiri. Bisa dimengerti, kriteria nyaman bisa berbeda antara manusia yang satu dan yang lainnya.
Gambaran Allah dengan perbandingan hakim yang lalim tidak hendak menunjukkan Allah lebih baik dari hakim yang lalim. Itu jelas. Buruh BUMN pun bisa lebih baik dari hakim yang lalim untuk tahu mana orang yang menguntungkan mereka dan mana yang merugikan mereka. Maka mereka bersuara soal siapa calon bos mereka, eaaaa…. (Ada juga bos cari buruh dan bikin kriteria, ini kok malah buruh yang bikin kriteria bos😂😂😂) Analogi Allah dengan hakim yang lalim itu hendak mengumpamakan Allah sebagai hakim juga, yang pastinya adil.
Akan tetapi, keadilan Allah tidak pertama-tama soal memberikan kepada setiap orang apa yang memang menjadi haknya. Kalau itu saja kriterianya, pastilah protes di sana-sini terjadi, dan memang itulah yang terjadi. Orang menuntut keadilan karena cuma dapat sedikit, yang lainnya dapat banyak. Yang satu dapat pacar susahnya setengah mati, yang lain borong istri. Yang satu bisa makan aja dah beruntung, yang lain stres memikirkan mau makan apa dan di mana (karena mesti diet😂😂😂). Yang satu dapat gaji UMR mesti berdarah-darah, yang lainnya berlimpah ruah duitnya dengan bermain.
Keadilan Allah adalah soal memberikan kebutuhan hidup orang seturut martabatnya, sebagai manusia, sebagai saudara, dalam kosa kata Kristen: sebagai anak-anak Allah. Nah itu yang susah, orang mesti cari terus menerus dalam dialog.
Tuhan, mohon kekuatan untuk merealisasikan keadilan-Mu juga dalam hidup kami. Amin.
SABTU BIASA XXXII C/1
16 November 2019
Keb 18,14-16;19,6-9
Luk 18,1-8
Sabtu Biasa XXXII B/2 2018: Awas Orba Kembali
Sabtu Biasa XXXII A/1 2017: Doa Wajib Fakultatif
Sabtu Biasa XXXII C/2 2016: Mbok Tulus
Sabtu Biasa XXXII B/1 2015: Teror Doa?
Sabtu Biasa XXXII A/2 2014: Berdoa Kagak Kenal Cape’
Categories: Daily Reflection