Are You OK?

Di udara burung-burung beterbangan, batu tergeletak di daratan, di air hiduplah ikan, jiwaku di tangan Tuhan. Ini bukan pantun, cuma terjemahan tulisan seorang mistikus, yang saya tak kenal. Cukuplah saya ambil kalimatnya untuk mengulik makna bacaan hari ini.

Meskipun sudah saya tulis judul Pahlawan Tak Berguna, baiklah dimengerti konteks sosial pada saat teks bacaan kedua hari ini ditulis. Saya yakin tak seorang pun dari pembaca blog ini yang mengalami masa perbudakan. Seorang budak itu benar-benar adalah harta milik tuannya seperti harta milik lain berupa tanah, rumah, pakaian, perabot, dan seterusnya. Seorang budak, tak punya hak apapun dari tuannya. Sebaliknya, dia punya kewajiban untuk bekerja seturut perintah tuannya tanpa bisa mengharapkan imbalan yang bisa dituntut dari tuannya. Bahwa Anda bisa makan minum dan bertahan hidup, itu sudah bagus, tak perlu berharap apa-apa soal tabungan, bahkan apresiasi terhadap kinerja Anda. Untuk itulah Anda dibeli.

Dalam konteks itu, “jiwaku di tangan Tuhan” bisa diletakkan. Tak seorang pun dari manusia yang bisa menyombongkan dirinya di hadapan Tukang Periuk itu, yang bisa entah kapan pun menghancurkannya untuk dibentuk kembali atau bahkan membuangnya begitu saja. Alhasil, sebagai makhluk ciptaan, tak ada alasan bagi manusia untuk menganggap dirinya lebih dari “hamba tak berguna” itu. Apakah pesan teksnya memang supaya orang beriman rendah hati dan tidak sombong serta rajin menabung?

Saya kira tidak berhenti di situ, karena kutipan hari ini cuma sebagian kecil dari wacana yang sudah disinggung kemarin mengenai penyesatan. Teks bacaan pertama juga menyebutkan fitrah manusia sebagai makhluk yang dicipta seturut gambar Allah sendiri, tetapi mesti saja ada syaiton yang hendak merampas milik Allah ini. Alhasil, kalau orangnya sendiri lebih mengabdi perampas tadi, jiwanya terlepas dari tangan Allah.

Perumpamaan yang disodorkan Guru dari Nazareth ini disampaikan sebagai tanggapan atas permohonan murid-muridnya supaya gurunya menambahkan iman kepada mereka. Sang Guru mengoreksi permintaan mereka itu. Ini bukan soal matematika penambahan pengurangan iman. Ini adalah soal ‘memurnikan’ iman itu sendiri, dan pemurnian iman ini sama sekali tidak merujuk pada pemurnian praktik-praktik agama seturut keadaan zaman jebot dulu bagaimana. Memurnikan iman berarti menjaganya sedemikian rupa sehingga penyesatan tidak mendapatkan tempat dan jiwa manusia tetap dalam tangan Allah.

Yang tidak murni bagaimana? Ya seperti perampas jiwa dari tangan Allah tadi: alih-alih menghidupi spiritualitas ‘hamba tak berguna’ tadi, malah menghayati tendensi untuk memperbudak Allah seturut kepentingannya sendiri. Lha rak kewalik ta, mestinya menempatkan diri sebagai budak Allah, malah memperbudak Allah. Prinsip dasar, Azas dan Dasar itu bergeming: makhluk ciptaan ini selalu dan hanyalah ciptaan yang selayaknya memberikan secara cuma-cuma apa yang diterimanya secara cuma-cuma. Kabar buruknya, yang diterima secara cuma-cuma itu adalah hidupnya sendiri.

Kabar baiknya, pemberian diri yang cuma-cuma sebagai ‘hamba tak berguna’ tadi membuat orang damai, tak risau, tak khawatir, tak takut, karena jiwanya memang di tangan Allah. Begini kata Mother Teresa: Our hearts, when they are free from all earthly reasons, give themselves fully to a free service. God’s love must lead to total service. Semoga amin.


SELASA BIASA XXXII C/1
12 November 2019

Keb 2,23-3,9
Luk 17,7-10

Selasa Biasa XXXII B/2 2018: HaRum Raisin
Selasa Biasa XXXII A/1 2017: Kangen Gubernur
Selasa Biasa XXXII C/2 2016: Penjarahan Pake’ Agama

Selasa Biasa XXXII B/1 2015: Pahlawan Tak Berguna
Selasa Biasa XXXII A/2 2014: Mau Muntah sebelum Blusukan?