Dalam prasangka saya, orang Indonesia itu kalau diberi cerita lalu akan mencari pesan moral cerita itu. Anda tahu, kalau sudah berhadapan moral, orang macam ini spontan berpikir dengan kategori “boleh atau tidak”, “jangan atau harus”, dan sejenisnya. Entah siapa yang mengajarkannya; mungkin alasannya mulia juga: supaya hidup orang bermoral. Padahal, yang menentukan orang bermoral dan tak bermoral itu siapa ya?
Guru dari Nazareth memetik narasi yang berasal dari kehidupan para gembala. Narasinya sangat sederhana. Seseorang menggembalakan seratus domba dan satu dari seratus itu jebulnya raib entah ke mana. Karena itu, dia meninggalkan yang sembilan puluh sembilan dan pergi mencari satu domba yang hilang. Dari mereka yang diberi cerita itu tak ada yang tak mengerti bahwa medan tempat penggembalaan itu bukan medan yang gampang. Ini tempat yang berbukit-bukit, berduri-duri, berliku-liku, berbatu-batu; pokoknya medannya berat deh.
Menariknya, cerita itu diawali dengan pertanyaan,”Apa pendapatmu?” atau “Menurutmu bagaimana?” Artinya, setiap pendengar diminta untuk berpikir mengenai narasi singkat itu. Guru dari Nazareth cuma bilang bahwa kalau sang gembala berhasil menemukan yang satu itu, kegembiraannya jauh lebih besar daripada kegembiraan atas yang sembilan puluh sembilan.
Saya kira dari sekian orang yang mendengarkan cerita pendek itu tentu ada yang berpikir semacam “Pastor (gembala) bodoh mana yang bertindak seperti itu?” Masih punya sembilan puluh sembilan, ngapain ribet dengan satu domba doang?
Lalu Guru dari Nazareth itu akan menjawab,”Pastor bodoh itu adalah Tuhan sendiri.”
Dengan kata lain, yang melakukan tindakan bodoh itu adalah Tuhan, yang karena cintanya tergerak untuk mencari yang satu ekor itu, domba miskin, domba yang tersingkir, domba yang tersesat. Hanya cinta nan agung yang mampu melakukan kebodohan pastor macam begini. Cinta Allah rupanya memuat ketololan, yang melampaui arogansi dan common sense manusia.
Tentu saja, kembali ke “Apa pendapatmu?”, Anda juga perlu menjawab pertanyaan,”Siapakah domba yang hilang atau tersesat itu?”
Jawaban pertanyaan itu akan memaksa Anda menjadi domba yang hilang.
Loh, kok isa?
Lha ya isa. Kalau Anda bilang domba yang hilang itu adalah orang lain, keluarga lain, agama lain, suku lain, bangsa lain, cara berdoa yang lain, keyakinan lain, justru itulah letak ketersesatan Anda!
Malah lebih cerdas kalau jawaban pertanyaan itu merujuk pada diri sendiri. “Sayalah domba yang tersesat itu.”
Dalam pengakuan diri sebagai domba yang tersesat itu, pastor yang bodoh bisa menjalankan tugasnya. Tanpa pastor bodoh ini, orang beragama tetap akan hilang bin tersesat. Untunglah pastornya bodoh. Akan tetapi, keuntungan itu hanya terasa kalau orang menyadari diri sebagai domba yang (lebih) bodoh juga, yang suka mencari perhatian dan jalan sendiri.
Tuhan, mohon rahmat supaya perhatian kami tak luput dari cinta-Mu. Amin.
SELASA ADVEN II
10 Desember 2019
Posting 2018: Pertandingan Agama
Posting 2017: Banjir Kehendak Tuhan
Posting 2016: Lost Contact
Posting 2014: Tobatlah, Pak! Mau Sampai Kapan?
Categories: Daily Reflection
Mengenai ini”Kalau Anda bilang domba yang hilang itu adalah orang lain, keluarga lain, agama lain, suku lain, bangsa lain, cara berdoa yang lain, keyakinan lain, justru itulah letak ketersesatan Anda!”
….Aku salut kepada kedua orangtuaku, walaupun mereka petani dan orang kampung tetapi inilah keyakinan mereka tentang hal ini…bukan yg lain, tetapi kita, bagian dari “diri kita”
LikeLike
Iya Bu, orang-orang tua sederhana dulu malah berpikirnya sangat inklusif kok… tren2 baru pasca 98 aja yang bikin iklim kebebasan lantas memberi lahan subur utk gerakan2 eksklusif.
LikeLiked by 1 person