Selesai Tapi Belum

Anda yang belum pernah dengar istilah Jawa anyang-anyangěn mungkin bisa melongok posting anyang-anyangěn. Hari ini saya memberi perspektif lain dari anyang-anyangěn [gèk opo cak pentingé anyang-anyangěn pake’ dibahas segala?]. Soalnya, anyang-anyangěn itu menawarkan kelegaan semu. ‘Sudah-tapi-belum’nya bikin gimana gitu. Yang akan saya tawarkan ini juga sebetulnya bikin gimana gitu, tapi lebih membawa kelegaan sejati. Ndelalahnya kan teks bacaan hari ini menyodorkan soal kelegaan.

Saya kira Anda pernah mendapat pekerjaan rumah yang kemudian dikumpulkan di sekolah untuk diberi nilai atau evaluasi oleh guru atau fasilitator pelajaran Anda. Saya tidak tahu apa yang Anda rasakan saat selesai mengerjakan pekerjaan rumah itu dan menumpuknya di meja guru. Tentu, kalau sekarang model penumpukannya tidak mesti datang ke kelas dan menumpuk di atas meja guru. Sekarang bisa lewat klik saja dan pekerjaan sudah tiba di komputer atau gawai guru. Akan tetapi, entah model lama atau baru, intinya tetaplah orang menyelesaikan suatu pekerjaan dan memberikannya kepada otoritas yang dianggap lebih kompeten untuk mengevaluasi.

Saya menumpuk pekerjaan dan merasa lega, bukan karena terhubung dengan deadline, melainkan karena aktualisasi diri terpenuhi. Pada kenyataannya, orang mengharapkan aktualisasi dirinya diapresiasi oleh pihak lain, dan pada saat itu kelegaannya komplet karena aktualisasi dirinya diakui orang lain. Coba bayangkan Anda sudah capek-capek belanja dan menyiapkan masakan untuk keluarga lalu tak seorang pun mau mencicipinya karena masakan Anda terkenal terlalu manis atau terlalu asin! Perasaan yang semula dominan lega dan senang berubah jadi rasa jengkel beserta kawan-kawannya. Bisa dimengerti, aktualisasi diri tak terapresiasi.

Saya kira, kelegaan yang ditawarkan Guru dari Nazareth hari ini melebihi kelegaan aktualisasi diri yang bergantung pada apresiasi itu. Kedengarannya memang tidak manusiawi karena manusia butuh apresiasi.
Persoalannya, menurut pengalaman saya, bukan bahwa kelegaan yang ditawarkan Guru dari Nazareth tidak memuat apresiasi. Memuatlah, cuma kerap kali orang mengharapkan apresiasi itu datang dari pihak yang tidak tepat.

Masih ingat kan cerita PHK karyawan yang meminta surat rekomendasi bahwa ia telah bekerja secara baik di tempat kerja saya? Ia mengharapkan apresiasi dari saya. Kalau begitu, apresiasi saya bergantung pada hasil pekerjaannya sendiri, bukan? Kalau cocok dengan standar saya ya saya apresiasi. Kalau tidak, mungkin malah yang keluar caci maki.😂😂😂

Penilaian orang lain tak terhindarkan, tetapi kalau aktualisasi diri disandarkan pada apresiasi orang lain, dijamin kelegaannya semu. Tawaran Guru dari Nazareth ada benarnya. Datanglah pada Allah kalau butuh apresiasi sejati karena Dia itu seperti agen yang membeli barang bekas dengan harga tinggi. Contohnya seperti saya ini, yang sudah uzur (meskipun jelas ada yang jauh lebih uzur dari saya) masih saja menumpuk pekerjaan rumah. Saya tahu benar bahwa apa yang saya tumpuk adalah pekerjaan yang sudah selesai untuk saya, tapi ya mesti belum juga. Masih ada hal lain. Begitu terus sampai nafas berhenti.

Kelelahan terjadi ketika orang beriman tidak selesai dengan dirinya sendiri dan tak kunjung keluar dari dirinya sendiri, memberikan diri kepada Yang Lain.
Tuhan, mohon rahmat untuk semata mengandalkan cinta-Mu
. Amin.


HARI RABU ADVEN II
11 Desember 2019

Yes 40,25-31
Mat 11,28-30

Posting 2018: Ringan Dipikulin
Posting 2017: Sidang Bisu Tuli

Posting 2016: Rest In Pain

Posting 2015: Ringankan Bebanmu

Posting 2014: Doa Aja Ribut…Gak Capek, Brow?