Dalam refleksi tahun lalu, saya mengambil pelajaran dari kisah kelahiran Isa seperti dituturkan dalam Alquran. Tak ada campur tangan trah Abraham di situ karena Maria melahirkan Isa dengan kuasa Roh dan dengan bantuan malaikat. Yosef tidak disebut, dan saya tidak berpretensi untuk mempertentangkan dua tradisi penulisan itu. Poin pentingnya ialah baik dalam karya penulis Yahudi maupun wahyu Alquran digarisbawahi intervensi ilahi terhadap sosok Maria. Setelah itu, orang beragama mau mengikuti narasi yang mana, silakan pilih sendiri seturut mana yang lebih membawa hidup yang terarah pada Allah sendiri. Nota bene: Allah sudah menanamkan antena khusus dalam setiap pribadi, dan dengan demikian tak perlu ribut dengan perbedaan antena.
Seminggu yang lalu di auditorium sebelah rumah saya ada pertunjukan drama. Dari kamar saya terdengar dialog mereka meskipun tidak sangat jelas. Karena drama itu disiarkan dengan streaming, saya tontonlah via internet, komplet dengan tampang para aktor dan aktrisnya. Dialognya sangat jelas. Akan tetapi, saya sadar bahwa dialog dalam drama yang saya tonton via internet itu di tempatnya sudah dipertunjukkan beberapa detik sebelumnya. Kiranya ini cuma soal teknis beda panjang gelombang yang mengantarkan dialog itu ke telinga saya.
Dari situ bisa dimengerti bahwa perbedaan medium-penangkap-frekuensilah yang membuat telinga saya lebih cepat mendengar dialog langsung daripada internet. Itu mengapa saya katakan soal beda antena. Memang, orang beragama punya tendensi mencari mana yang benar, tetapi dalam kasus ini kelihatan bahwa persoalannya bukan benar-salah. Yang real-time tidak sangat jelas, yang sangat jelas tidak lagi real-time.
Orang yang pada dasarnya tak punya komitmen akan cenderung apatis terhadap agama. Jangan salah paham, yang apatis begini belum tentu tak peduli sama sekali terhadap agama, tapi bisa juga cari ‘enaknya’ dari agama-agama. Maka, bisa keluar dari mulutnya ‘semua agama itu baik’ meskipun tak satu agama pun dia gumuli dengan komitmen.
Orang fanatik fundamentalis akan ngotot dengan kebenaran agamanya sendiri. Agama lain itu antenanya cacat, tidak menghasilkan suara jernih, dan sebagainya.
Orang yang punya komitmen dengan agama sungguh terlibat dengan agama pilihannya tetapi dia akan belajar dari antena lain. Kembali ke drama auditorium tadi, saya tahu perbedaan waktu tayang internet dengan drama di auditorium justru karena saya punya rekaman ingatan dialog real-time beberapa detik sebelumnya.
Sebetulnya tahun lalu sudah saya sodorkan juga hasil belajar saya dari teks Alquran: Maria jadi medium Allah bukan karena melahirkan Isa, melainkan terlebih dahulu karena ia mengikuti Sabda Allah. Dengan demikian, orang beriman mendapat rida Allah bukan karena ia keturunan Nabi, melainkan karena ia hidup semata dari kehendak Allah.
Tahun ini saya belajar perspektif lain. Maria menjadi medium Allah dan membongkar kultur dominasi. Namanya dimasukkan dalam silsilah kelahiran Yesus sebagai satu dari segelintir perempuan. Kontras dengan puja-puji dalam bacaan pertama yang mengagungkan kehebatan laki-laki.
Tentu saya tidak bicara soal laki-laki perempuan, tetapi orang beriman perlu waspada terhadap dominasi. Allah rupanya tetap bekerja juga dalam periferi, dalam perkara pinggiran, dalam diri mereka yang tertindas.
Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami dapat menjadi medan kerja cinta-Mu. Amin.
HARI KHUSUS ADVEN
17 Desember 2019, Selasa
Posting 2018: Anak Siapa Ini?
Posting 2016: DNA Siapa
Posting 2015: Panggung Sandiwara
Posting 2014: Friend Request from God
Categories: Daily Reflection