Anda tak butuh penjelasan mengenai kosa kata ‘disrupsi’. Sudah jelas maksudnya dengan contoh hadirnya ojek online. Layanan jasa transportasi konvensional terlindas oleh cara baru penyediaan layanan jasa itu. Disrupsi memang gitu orangnya mah. Tentu saja, disrupsi tak perlu dipersempit pada cara yang melibatkan sistem informasi dan teknik informatika. Ada disrupsi yang tak bergantung pada percepatan informasi. Barangkali justru disrupsi macam itu yang dibutuhkan untuk menghadapi disrupsi akibat kemudahan teknologi informatika.
Kiranya Anda masih ingat sosok Nyai Ontosoroh. Masyarakat mengerti betul apa artinya julukan ‘nyai’ dan dia dengan kebesaran hati mengadopsi julukan itu meskipun sebetulnya ia tidak hidup dalam dunia ‘nyai’ alias mistress atau cabe-cabean seperti diduga masyarakat. Kalau memperhatikan akting pemeran Nyai Ontosoroh, Anda dapati bahwa perempuan ‘nyai’ ini punya harga diri yang tidak bisa ditundukkan oleh laki-laki hidung belang yang berhasil menabur dua benih dalam dirinya. Nyai Ontosoroh tidak sepenuhnya berhasil melawan sistem korup, tetapi dia memberikan perlawanan untuk keadilan.
Bagaimana ia bisa melakukan disrupsi?
Hidupnya tak lagi fokus pada ‘pelanggan’ lama: konsep perkawinan masyarakatnya maupun masyarakat kolonial. Praktis dia mengebaskan benalu dalam hidupnya dan menaruh perhatian pada ‘pelanggan’ baru, harapan masa depannya, Annelies. Dia tidak menyangkal sebagai nyai tetapi menghidupi cara baru nyai yang bermartabat, yang nyeleweng dari ilusi negatif masyarakatnya. Begitulah saya memahami teks bacaan hari ini yang berfokus pada sosok Yosef, suami Maria. Yosef mengalami disrupsi dan ia tetap mengambil pilihan yang sungguh berkawan dengan disrupsi itu sendiri.
Selama hampir lima belas tahun saya jadi penghulu Katolik, belum ada satu pun pasangan pengantin yang menerima tantangan disrupsi dari saya. Saya biasanya memberi mereka waktu satu sampai dua menit sebelum janji perkawinan untuk berpikir sejenak apakah jadi menikah atau tidak. Sudah saya beri jaminan seluruh biaya persiapan pesta akan saya ganti kalau mereka toh memutuskan batal, tapi ya tetap saja tak ada yang membatalkan.
Nah, perkara tak mau batalnya kenapa, saya tak tahu, tetapi bisa Anda bayangkan dong sudah sejauh itu lalu di depan seluruh undangan mengatakan tidak jadi menikah. Bisa-bisa bikin perang bubat kali ya. Syukur, sejauh ini belum ada laporan bahwa dari sekian pasangan yang saya teguhkan perkawinannya terjadi perang bubat setelah perkawinan mereka. Yang begitu itu mestinya yang meneguhkan perkawinannya bukan saya.😂😂😂 Kalau terjadi begitu pun, saya cuma akan mengatakan,”Lha dulu kan sudah saya beri pilihan disrupsi, mengapa memilihnya baru sekarang?”
Tapi tak usah khawatir juga, terhadap pertanyaan saya itu Anda bisa menjawab,”Soalnya baru nonton Nyai Ontosoroh belakangan ini, Mo.”
Yosef berkawan dengan disrupsi karena ia berkawan dengan Pencipta disrupsinya. Bayangkan kalau ia punya konsep perkawinan yang tradisional, konvensional, biasa, tentu ia tak bisa menatap ‘pelanggan’ baru: cara berelasi yang sepenuhnya menggantungkan hidup orang pada kehendak Allah. Yosef menemukan caranya sendiri sebagai pendamping Maria, yang oleh masyarakat tentu diberi label suami meskipun yang dibayangkan masyarakat belum tentu klop dengan yang terjadi pada Yosef-Maria. Ia tak terdistraksi (galfok) oleh apa kata orang.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami tidak mengalami distraksi meskipun berhadapan dengan disrupsi. Amin.
HARI KHUSUS ADVEN
18 Desember 2019, Rabu
Posting 2018: Keluhuran Islam
Posting 2017: Siyap, Bos!
Posting 2015: Mana Komitmennya?
Posting 2014: Terlanjur Married
Categories: Daily Reflection