Bisa dibayangkan bagaimana badan usaha milik negara untuk sekian lama jadi sarang penyelewengan kekayaan negara karena posisi-posisi strategisnya diduduki oleh pribadi-pribadi yang tak punya integritas. Kepentingan pribadi-pribadi macam begini sangat mungkin berkelindan dengan kepentingan politik yang membuat korupsi tak lagi semata soal mengejar uang, melainkan harta #lohpodobaeRom. Ya selebihnya dari harta, Anda tahu sendiri. Pokoknya selama pribadi-pribadi tak punya integritas itu bercokol dalam posisi strategis, cita-cita dan ideologi bangsa itu cuma isapan jempol, bahkan mungkin sekalian sampai kelingking.
Maka, kalau belakangan ini menteri BUMN memasang orang-orang yang kiranya punya integritas, ini jadi harapan baik. Apakah mereka bisa menjalankan fungsi kritis secara mudah, tentu masih tanda tanya. Kalau fungsi itu bisa dijalankan secara mudah, mungkin sejak 1998 pembangunan Indonesia sudah merata tanpa kemangkrakan. De facto, mengubah hidup seturut cita-cita Das Sollen alias apa-yang-seharusnya, tidak pernah jadi perkara gampang. Jangankan dalam level hidup bernegara, dalam hidup individu pun, mentransformasi diri sebagai orang yang punya integritas sungguh bukan perkara mudah. Yang bisa melakukannya secara mudah barangkali ya cuma malaikat dan Roh Kudus.
Teks bacaan hari ini menunjukkan bahwa jebulnya bahkan kabar dari malaikat Tuhan pun tak begitu saja diterima oleh pemuka agama. Ini pemuka agama loh, yang dalam teks dikatakan sebagai sosok pribadi yang benar di hadapan Allah!
Di situ tampak ada ketidaksinkronan antara ideal orang beriman dan kenyataan aktualnya. Idealnya dia adalah orang yang mendengarkan Sabda Allah, tetapi pada kenyataannya ia mendengarkan dirinya sendiri, yang terikat pada hukum-hukum ekonomis, fisik, psikis, dan seterusnya. Maunya begini, tapi yang ditindakkan begitu.
Apakah orang seperti ini pantas disebut beriman? Ya bergantung siapa yang bilang dan apa kriterianya. Kalau saya sih tidak sampai hati menyebut orang seperti Zakharia itu tak beriman atau kafir. Dia tetaplah manusia beriman, tetapi iman memberi tempat juga kepada keraguan, yaitu keraguan metodis. Weleh weleh weleh, keraguan aja masih diembel-embeli metodis, Rom! Ya artinya keraguan itu tidak ditujukan pada halnya sendiri, tetapi kepada cara untuk sampai pada halnya itu sendiri. Misalnya, Anda percaya bahwa semua benda jatuh ke bawah mengikuti hukum gratifikasi eh grafiti halah gravitasi. Akan tetapi, Anda masih boleh meragukan bahwa hukum gravitasi itu berlaku mutlak, lha wong Anda juga tidak pernah menjelajah seluruh ujung bumi untuk membuktikan bahwa hukum itu berlaku di segala permukaan tanah. Zakharia bukannya tak percaya bahwa bagi Allah segalanya mungkin, tetapi kepalanya tetap memuat kategori apa yang mungkin dan apa yang tak mungkin.
Akibat tanggapannya terhadap pewartaan malaikat Allah itu, lidahnya jadi kelu, ia tak bisa bicara. Apakah itu hukuman malaikat? Ya, bagi orang yang kerangka pikirnya hukum-hukuman. Ya, bagi orang tua yang menganggap guru sekolah menghukum anaknya yang indisipliner. Ya, bagi mereka yang kerangka berpikirnya balas dendam.
Saya sekarang melihat kebisuan Zakharia bukan sebagai hukuman malaikat Allah, melainkan sebagai momen berahmat untuk diam, berefleksi, lebih banyak mendengarkan, dan kiranya dari situ jadi lebih peka terhadap proyek Allah yang ke dalamnya orang beriman mesti terlibat.
Tuhan, mohon rahmat untuk mendengarkan-Mu. Amin.
HARI KHUSUS ADVEN
19 Desember 2019, Kamis
Posting 2018: Jalan Berpikir
Posting 2017: Dasar Majenun
Posting 2016: Sahabat Syaiton
Posting 2015: Imam Dukun
Posting 2014: Tong Kosong BerbuNyi NyiNyiR
Categories: Daily Reflection