Orang beriman disebut bebas bukan karena bisa bertindak atas dasar kesenangannya semata atau lantaran kewajiban agamanya sendiri, melainkan karena ia bisa bertindak atas dasar apa yang kiranya menyenangkan Allah, pribadi yang mencintai dan dicintainya. Tentu saja, persoalannya: apa kriteria menyenangkan Allah. Tak usah ribet mikirnya karena sudah tersirat: bukan semata kesenangan sendiri, bukan juga kewajiban agamanya sendiri. Jadi, jika orang bertindak semata karena kesenangan sendiri atau kewajiban agamanya sendiri, ia tidak bebas. Ia terikat oleh kesenangan dan kewajiban agamanya sendiri.
Jika orang terikat kesenangan sendiri dan kewajiban agamanya sendiri, ia meneropong kehidupan ini dengan kesenangan dan kewajiban agamanya sendiri. Perbedaan pun dipandang dengan kacamata kewajiban semata, dari situ muncullah aneka penghakiman. Kalau penghakiman dan eksekusinya itu terbukti keliru, barulah dikeluarkan jurus meterai enam ribu, eaaaa…. Ini wacana politik identitas religius, yang bikin saya kehilangan selera.
Sudah sejak lama saya menyimpan harapan dalam diri saya terhadap mereka yang disebut pemuka agama. Mungkin sekaranglah saatnya saya curcol, mumpung ini Hari Kartini (janjané ya ra ana hubungané). Bukan apa-apa. Kartini memang tampaknya memperjuangkan emansipasi wanita, tetapi poin acuan pergumulannya bukan per se kewanitaan, melainkan ketidakadilan sosial yang menimpa kaumnya. Ketidakadilan ini datang dari adat, tetapi juga dari kolonialisme. Ibu Kita ini menentang ketidakadilan itu dan layaklah beliau diberi gelar pahlawan nasional.
Hubungannya dengan pemuka agama tadi?
Seperti Ibu Kita membuka mata pada persoalan ketidakadilan sosial (yang pada masanya antara lain menimpa perempuan), semestinya pemuka agama itu mengangkat kesadaran seluruh komunitas agama. Nah, di sini poin krusialnya: agama itu beragam labelnya tetapi de facto pemuka agama mesti punya label tertentu seturut afiliasi agamanya. Kalau dikatakan pemuka agama mesti mengangkat kesadaran seluruh komunitas agama, itu berarti ia tidak hanya bekerja bagi label agamanya sendiri.
Pemuka agama yang sungguh tercerahkan semestinya bisa menjadi pemuka bagi orang beragama apa pun. Artinya, ia membantu orang Kristen untuk menjadi semakin Kristen, membantu orang Islam supaya semakin menjadi Islam, dan seterusnya. Ini tampaknya seperti menumpulkan misi atau dakwah, tetapi justru sebaliknya: ini menunjukkan usaha serius untuk mewujudkan bahwa iman sejati dapat diterjemahkan ke dalam bahasa (agama) yang berbeda. Artinya, iman yang dihidupinya bersifat universal dan membebaskan manusia sendiri. Dengan begitu, pemuka agama membantu sesamanya untuk menemukan dan menghayati jalan Allah yang diberikan kepada sesamanya itu.
Pernah seorang Muslim datang kepada saya dan menyampaikan niatnya untuk belajar menjadi Katolik, dan karena saya tahu alasannya berhubungan dengan nilai tertentu, saya memberikan rujukan kepadanya supaya berguru kepada pemuka agama Islam. Pernah juga seorang remaja Katolik menginformasikan keputusannya kepada saya untuk berpindah ke Gereja Protestan. Karena itu keputusan finalnya, bukan konsultasi iman, saya mempersilakannya begitu saja (lha rak yo malah meringankan pekerjaan saya, kan?🤣). Lain halnya jika dia datang untuk berdiskusi, tentu saya bantu dia untuk lebih mengerti Gereja Katolik sebagai sarana untuk mengalami perjumpaan dengan Allah. Tak perlu meterai enam ribu #halah.
Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami dapat memandang hidup sebagaimana Engkau memandangnya. Amin.
HARI SELASA PASKA II
Hari Kartini
21 April 2020
Posting 2019: Cerah Agama
Posting 2018: Melarisi Rompi Oranye
Posting 2016: Reklamasi… Dengan Ini…
Posting 2015: Real-Time Heaven
Posting 2014: Kristenisasi Yang Nonsense
Categories: Daily Reflection