Doa melawan Korona

Sebuah kisah Arab kuno menampilkan seorang bijak yang ditanyai bagaimana dia mendamaikan dua orang yang berseteru. Jawabnya,”Kalau orang baik bertengkar dengan orang jahat, aku mengambil dari yang baik dan memberikannya kepada yang jahat.”
“Lha, kalau yang berkelahi itu dua-duanya jahat?”
Jawab orang bijak itu,”Kalau dua-duanya jahat, aku mengambil dari diriku dan kuberikan kepada mereka berdua.” (Jabbour, 1997
, p. 45).

Sebagai imam Katolik, saya juga jadi teringat pada rumusan teologis yang saya sampaikan dalam doa di bilik ruang pengakuan. Yang ini boleh dibocorkan: Allah Yang Maharahim telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya dalam [dan ini bagian teologis spesifiknya] wafat dan kebangkitan putra-Nya.
Rumusan itu bisa diadaptasi seturut hidayah yang diterima orang, tetapi pokoknya ialah bahwa Allah Yang Maharahim itu senantiasa hendak mendamaikan dunia dengan diri-Nya. Yang Kristen tentu saja merujuknya pada sosok Yesus Kristus, sementara Islam pada Alquran, dan seterusnya.

Memang agama pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuntun pemeluknya supaya Allah dan manusia bisa saling berpelukan. Agama bukan perkara moralitas belaka. Agama menawarkan lensa peneropong bagaimana Yang Ilahi senantiasa hendak merangkul yang insani, bahkan meskipun yang insani punya hukum yang bertendensi menjauhi Yang Ilahi. 

Kalau orang beragama memandang pandemi Covid-19 sebagai wujud kemarahan Allah, barangkali ia akrab dengan narasi zaman kekunoan tentang bagaimana Tuhan menurunkan tulah kepada mereka yang melawan-Nya. Manusia manakah dapat bertahan di hadapan-Nya? Semua orang punya tendensi untuk melawan-Nya: maunya melakukan apa yang menyenangkan Allah, tetapi yang dilakukannya justru yang tidak menyenangkan Allah! Awalnya menyembah Tuhan, diberi kemakmuran, lama-lama kemakmurannya jadi berhala. Semula mengagumi Allah, yang memberinya akal, lama-lama akal itu menuntunnya untuk menaklukkan Allah.

Jika Allah memberikan diri-Nya sebagai penghakiman, dunia tentu sudah kiamat. Pemberian diri Allah selalu merupakan upaya pendamaian dengan diri-Nya. Allah memberikan diri-Nya supaya setiap orang beriman yang percaya kepada-Nya tidak binasa.
Tidak binasa gimana, wong bisa mati karena virus korona gitu kok!
Itulah ironisnya. Allah berupaya mendamaikan dunia dengan diri-Nya, manusianya malah mengembangkan tendensi untuk menghakimi (dengan teori konspirasi misalnya), bahkan menghakimi Allahnya! Menghakimi Allah sebagai penghukum manusia, menghakimi Covid-19 sebagai kutukan Allah, menghakimi orang yang terkena Covid-19 sebagai pendosa yang menjijikkan, korban kekeliruan Allah, dan seterusnya.

Kalau begitu, upaya pendamaian Allah justru bisa terlihat dari sikap manusia sendiri. Bukan karena manusia adalah Allah, melainkan karena dari sikap manusialah bisa muncul wujud solidaritas Allah: apakah hendak menyinyirkan pandemi atau hendak menyingkirkannya dengan partisipasi konkret mulai dari menjaga kebersihan diri, sebisa mungkin stay at home, tak mudik, sampai membuat kebijakan publik yang merangkul sebanyak mungkin pihak, terutama yang paling ringkih.

Di tengah pandemi, orang beriman tak perlulah melawan keniscayaan kodratnya, tetapi tetap berikhtiar, memilih mana yang magis, yang lebih merepresentasikan upaya pendamaian Allah. Melalui ikhtiar seperti itu, doa bukan lagi semata ritual dengan teks tercetak tebal dan disiarkan secara global, melainkan perilaku konkret sederhana yang mencerminkan kesadaran orang bahwa ia ikut andil dalam penciptaan alias perawatan kehidupan, apa pun keadaannya. Orang beriman berdoa dalam cuci tangan, duduk, berkendara, antre, bicara, bersin, berbaring di bed rumah sakit, dan seterusnya.

Tuhan, biarkanlah pilihan-pilihan kami sungguh mewujudkan upaya pendamaian-Mu. Amin.


HARI RABU PASKA II
22 April 2020

Kis 5,17-26
Yoh 3,16-21

Posting 2019: Humanity Needs You
Posting 2018: Siapa Butuh Dua Periode?
Posting 2017: Play Duit atau Play Do’i

Posting 2016: Komitmen Berhadiah

Posting 2015: Neraka Bukanlah Hukuman

Posting 2014: Habisi Gelap Terbitkan Terang