Orang Jawa kenal kata dwilingga salin suara: kopat-kapit. Asosiasinya dengan anjing sewaktu duduk menantikan makannya. Ekornya kopat-kapit. Bolehlah diperkenalkan dwilingga lainnya: kopat-kopit. Tidak pagi, tidak siang, tidak malam, yang dibahas Covid-19 terus: kopat-kopit wae. Ya mau bagaimana lagi, ratusan juta kepala itu memang tak bisa kompak sehari saja omong soal kopit (jangan coba-coba ganti vokal belakangnya ya🤭). Satu kepala saja bisa hari ini omong kopit Bogor, besok Semarang, lusa Jogja, tulat Ponorogo, tubin New York. Kopat-kopit wae, kaya ora ana kabar liyane.
Tentu kabar lain banyak sekali. Misalnya, tahun ini di India terjadi sebuah anomali polusi udara, yang bisa Anda lihat dari gambar berikut ini.
Anomali terjadi karena beberapa waktu lalu India memberlakukan lockdown bagi 1,3 milyar penduduknya. Artinya, pabrik dan kendaraan yang berkontribusi besar terhadap emisi karbon tak lagi beroperasi. Tahun lalu sebetulnya sudah disepakati suatu komitmen bersama untuk mengurangi emisi karbon. Akan tetapi, menurut Emmisions Gap Report tahun lalu, tak ada pengurangan signifikan. Padahal, menurut Paris Agreement, tahun lalu mestinya emisi karbon mesti ditekan setidak-tidaknya oleh negara-negara anggota G-20. Tahun ini, India dan beberapa negara lain berhasil melakukannya. Akan tetapi, siapakah yang memungkinkan pengurangan emisi karbon terealisasi? Mas Kopit-19 tadi! Kopat-kopit wae, kaya ora ana kabar liyane.
Teks bacaan hari ini adalah wacana Yohanes Pembaptis mengenai Guru dari Nazareth untuk menenangkan murid-muridnya yang sewot karena banyak murid lainnya yang malah mengikuti Guru dari Nazareth. Poin Yohanes sederhana saja: yang datang dari atas ya mengatasi semua yang datang dari bawah. Masuk akal, kan? Persoalannya cuma bagaimana mengerti posisi biner ini. Kalau Tuhan itu di atas, apakah Kopitnaintin ini datang dari bawah atau dari Tuhan?
Tentu, kalau mau gampang ya semuanya dari Tuhan. Akan tetapi, jelas kan bahwa emisi karbon adalah produksi bumi? Allah tidak menciptakan dunia komplet dengan emisi karbonnya. Emisi karbon itu perkara ‘bawah’, begitu pula Covid-19. Cuman, cara menghadapinya itulah yang bisa menerapkan kaidah lain, bukan dengan perkara ‘bawah’, melainkan perkara ‘atas’. Nah itu persis problemnya: perkara ‘bawah’ itu seperti sudah jadi bawaan orang yang meyakini gaya hidup survival of the fittest, siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia menang, dan sejenisnya. Jika setelah Covid-19 berlalu, emisi karbon kembali meningkat, itu berarti orang-orangnya kembali pada kodrat gaya hidup dari bawah tadi.
Entah kematian seorang warga di Serang disebabkan kelaparan atau serangan jantung, solidaritas sosial sangat pantas dipertanyakan. Para nabi besar tak kurang-kurangnya memberi teladan dalam memperhatikan anggota masyarakat yang tersingkir, tertindas, lemah, tetapi setelah sekian ribu tahun toh orang belum melek untuk mendobrak gaya hidup survival of the fittest. Teladan konkret guru-guru rohani mungkin tersimpan di memori, tetapi tak mengalir jadi aksi karena konflik kepentingan tadi. Teori evolusi dengan mekanisme seleksi alami dihayati sebagai takdir manusiawi. Solidaritas sosial malah jadi anomali, yang baru diperhatikan setelah ada yang mati akibat orang tak peduli.
Tuhan, mampukan kami untuk membuat solidaritas-Mu jadi konkret bagi orang di sekitar kami. Amin.
HARI KAMIS PASKA II
23 April 2020
Posting 2019: Sintesis Tak Kunjung Usai
Posting 2018: Kitab Fiksi Suci
Posting 2017: Hati Berbunga Tabur
Posting 2016: IGD Ini Genitnya Dewan
Posting 2015: Taat kepada Allah Mah Gampang
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.