Pernah beberapa hari setelah outing bin hang out bersama orang-orang serumah saya disodori hasil cetak foto kami. Di antara lembaran foto liburan itu, saya dapati satu foto seseorang yang saya tidak kenal. Maklum, teman serumah ini jumlahnya hampir 90 orang dan berasal dari puluhan negara dan itu baru bulan-bulan pertama saya tinggal di sana. Saya perhatikan baik-baik wajah orang di foto itu dan saya tak berhasil mengingat-ingatnya. Seperti orang Vietnam, Jepang, atau Korea gitu deh. Akan tetapi, seingat saya, tak ada kerabat dari teman serumah yang ikut kami bepergian. Semuanya adalah anggota rumah.
Saya tanya kepada teman yang memberi saya foto-foto itu dan ketika saya sodorkan satu foto orang yang saya maksud itu, teman saya memelototi saya seakan-akan dia tidak tahu bahwa saya pun bisa memelototi dia. “Kamu orang gila macam mana? Ya itu kamu!”
Gantian saya yang melotot, tetapi yang saya pelototi adalah foto itu. Ya betul, celana, baju, syal, topi, dan sepatunya memang saya kenali, itu punya saya. Akan tetapi, wajahnya? Astaga! Dio, abbi pieta di me!
Rupanya, beberapa bulan menu pasta membuat perlahan-lahan wajah saya menggelembung tanpa saya sadari. Itulah yang memprihatinkan saya: bukan menggelembungnya, melainkan bahwa saya tak menyadari penggelembungannya.
Teks bacaan hari ini bicara mengenai penghakiman dan tadi malam kami menonton August Rush. Njuk apa hubungannya? Nasihat teksnya jelas: jangan menghakimi! Akan tetapi, apa ada orang yang bisa menghakimi orang lain? Ini sesama bus kota begitulah. Para perundung Evan di asrama anak yatim piatu hanya memproyeksikan kegalauan mereka sendiri dengan sasaran Evan. Seorang hakim pun sebetulnya tidak menghakimi koruptor: dia hanya mengambil keputusan atas aneka macam pertimbangan yang masuk ke kepalanya tanpa sungguh-sungguh mengenal pribadi yang dihakiminya.
Itu pula yang menimpa saya ketika tak mengenali wajah sendiri. Saya seperti terkena boiling frog syndrome: setiap hari becermin dan yang kelihatan cuma diri sendiri sampai tidak tahu bahwa wajah sudah menggelembung. Baru ketahuan setelah saya melihat dengan perspektif “orang lain”.
Akan tetapi, itu saya syukuri juga karena berarti saya tidak membebani diri dengan penilaian orang lain. Saya tahu bahwa saya menggelembung, tetapi saya tak perlu ambil pusing dengan penilaian orang lain tentang gelembung. Lha iya, kalau orang hanya melihat dirinya sendiri di cermin, kenapa dia mesti minta orang lain untuk menghakiminya?
Pada kenyataannya, itu menimpa banyak orang. Sewaktu melihat jerawatnya di cermin, bukan kebersihan dan kesehatan yang dipikirkannya, melainkan apa kata orang mengenai jerawat di wajah. Sewaktu menimbang badan, bukan proporsi tinggi dan berat badan serta kemampuan lututnya untuk menyangga tubuh yang dirisaukannya, melainkan apa kata fansnya tentang berat badan ideal. Begitu seterusnya sehingga orang tidak lagi mendengar lantunan musik kehidupannya, melainkan malah kebisingan yang dibuat orang-orang lain yang juga tak mendengar lantunan musik hidup mereka sendiri.
August Rush menemukan dirinya, membuka peluang berjumpa dengan orang tuanya, setelah ia memutuskan untuk mendengarkan musik kehidupannya, dan bukannya malah dikacaukan oleh noise yang diciptakan orang-orang lain, yang bahkan tak mengenal diri mereka sendiri.
Tuhan, mohon rahmat untuk mendengarkan musik hidup kami yang memiliki harmoni dengan cinta-Mu. Amin.
SENIN BIASA XII A/2
21 Juni 2020
2Raj 17,5-8.13-15a.18
Mat 7,1-5
Senin Biasa XII B/2 2018: Namanya Ja’im
Senin Biasa XII C/2 2016: Sabar Ya, Bu’
Senin Biasa XII A/2 2014: Mengkritik Bukan Menghakimi
Categories: Daily Reflection
Mirror of self
A lousy mirror
LikeLike