Golden Rule yang dikenal sejak zaman jebot, dari Yudaisme sampai filsuf Barat Seneca dan filsuf Timur Konfusius, rumusannya negatif: jangan melakukan hal yang kamu gak inginkan orang lain melakukannya padamu alias kalau gak mau dicubit ya jangan mencubit. Guru dari Nazareth, atau mungkin lebih tepatnya penulis teks bacaan hari ini, konon menggantinya dengan rumusan positif: lakukanlah kepada orang lain hal yang kamu inginkan orang lain melakukannya padamu alias hargailah orang lain kalau kamu ingin dihargai.
Akan tetapi, entah positif atau negatif rumusannya, golden rule mengandaikan berlakunya resiprositas, seperti sudah saya singgung dalam posting Move On persis seminggu yang lalu. Belum tentu kalau Anda tidak mencubit orang lain, Anda tidak akan dicubit orang lain. Belum tentu juga kalau Anda menghargai orang lain, Anda akan mendapat respeknya. Selain itu, setiap orang bisa punya kriterianya sendiri mengenai kehormatan, harga diri, dan seterusnya. Lucu aja kan kalau orang memakai dalil golden rule karena ia mau saja ditonjok, dicubit, difitnah, dan seterusnya? Bisa jadi kan dengan golden rule itu orang yang gak suka dipuji tak pernah memuji orang lain?
Aneh, tetapi itulah yang pada kenyataannya terjadi ketika orang memakai dalil resiprositas: ya gapapa dilukai, nanti tinggal balas melukai; gapapa ditolak, tinggal menolak balik. Karena itu, orang bertindak ceroboh pun tak ada persoalan; kalau terjadi apa-apa tinggal bikin perhitungan belakangan saja. Dengan begitu, golden rule tinggal sebagai bottom line. Kontribusi positifnya pada dunia bergantung justru pada kemampuan orang untuk melampaui dalil resiprositas, dan inilah yang dalam teks bacaan hari ini dialegorikan sebagai masuk melalui pintu yang sesak.
Golden rule untuk sebagian orang bisa jadi sulit karena dalil resiprositas saja sudah susah (maunya ya pembalasan lebih kejam, lebih sangar, lebih keras, dan seterusnya), tetapi bagi orang beriman itu barulah bottom line, yang diajarkan Taurat dan para nabi. Yang disodorkan Guru dari Nazareth rupanya lebih mengerikan konsekuensinya. Contoh yang dulu sekali sudah saya singgung ialah soal pengampunan. Bottom linenya adalah tidak ada balas dendam. Itu pun sudah meruntuhkan dalil resiprositas yang belum tentu gampang, tetapi sudah seperti pintu sedang, yang tidak longgar tapi juga tidak sesak.
Akan tetapi, kalau yang bottom line ini tak terpenuhi, hidup orang sungguh jadi destruktif, bukan hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Celakanya, orang lain ini tidak selalu berarti pihak yang melukainya, tetapi juga pihak yang tidak punya keterlibatan apa-apa dalam cederanya. Contoh sederhana. Ada guru yang tiba-tiba uring-uringan di sekolah dan salah seorang murid jadi korban kekerasan. Kenapa? Karena di rumah dia direndahkan, dibantah, ditolak istrinya.🤭 Itu perkara jamak, yang diam-diam polanya bisa jadi diidap banyak orang, tetapi tidak usahlah saya bahas di sini.
Dalam hal seperti itu, melampaui bottom line benar-benar menyesakkan: pengampunan baru paripurna kalau orang mencintai pihak yang de facto mencederainya. Salah satu tandanya ialah kalau orang bisa mendoakan secara tulus pihak yang mencederainya itu. Sesak gak?
Tuhan, mohon rahmat kekuatan-Mu supaya kami semakin mampu mencinta. Amin.
SELASA BIASA XII A/2
23 Juni 2020
2Raj 19,9b-11.14-21.31-35a.36
Mat 7,6.12-14
Selasa Biasa XII B/2 2018: Kejelekan Orang Baik
Selasa Biasa XII C/2 2016: Puasa Maksimal
Selasa Biasa XII B/1 2015: Biarkan Babinya Tidur
Categories: Daily Reflection
Tb2 tercelik
Tulisan Rm bergaya impressionis
Komentarku bergaya ekspresionis
Yg ekspresionis bs jd lalu menyesakkan yg impressionis
Mk seblm tersesak lbh jauh, addio, Padre!
🙂 non volevo, Dio ti benedica
I miei ringraziamenti
Terimakasih u/ pencerahannya
LikeLiked by 1 person