Percayakah Anda bahwa kebaikan pasti dibalas kebaikan? Saya sih tidak. Buat saya, ungkapan “air susu dibalas air tuba” lebih realistis daripada doktrin yang mengandaikan hukum resiprositas. Bacaan kemarin menyinggung soal resiprositas dalam Hukum Taurat, yang secara positif bisa dimengerti sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan hidup. Hukum Taurat sendiri tidak mengajarkan balas dendam, tetapi kalau demi keadilan ada yang memang perlu dibalas, ya jangan sampai “pembalasan lebih kejam daripada perbuatannya”.
Kalau gigi copot dan perlu balas ya balasnya jangan sampai bikin kepala orang copot, cukup giginya saja. Kalau mata yang tercolok satu ya tak perlu mencolok dua mata. Begitu seterusnya maksud keadilan dalam hukum mata ganti mata gigi ganti gigi. Guru dari Nazareth mengundang para muridnya untuk mengatasi keadilan hukum resiprositas macam begini. Bukan karena itu jelek, melainkan karena itu cuma bottom line.
Teks bacaan hari ini melanjutkan wacana itu dengan menyitir hukum lama yang beredar dalam masyarakat pada masa hidup Guru dari Nazareth: Kasihilah sesamamu dan bencilah musuhmu. Sebetulnya hanya kalimat pertama yang ada di kitab suci, tetapi rupanya kalimat kedua merujuk pada kenyataan konkret yang dihidupi bahkan sampai zaman now. Jadi, tak ada perintah Allah dalam Hukum Taurat untuk membenci musuh. Pokoknya cuma mandat untuk mengasihi sesama. Akan tetapi, mengasihi sesama ini pun merupakan bottom line saja karena lingkupnya terbatas pada kalkulasi resiprositas tadi: sesama teman, suku, agama, ras, negara, dan seterusnya.
Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, atau mungkin ukhuwwah islamiyyah (sejauh tidak direduksi sebagai ukhuwwah diniyyah), orang beriman mesti memperluas kategori sesama bahkan sampai menjangkau musuh. Ini adalah undangan menuju kesempurnaan. Pada kenyataannya, itu sangat sulit direalisasikan, tetapi tidak berarti tak mungkin dihidupi. Yang membuat tidak mungkin adalah prasangka orang sendiri terhadap mandat “Haruslah kamu sempurna seperti Allah itu sempurna adanya”. Orang cenderung menangkap kalimat ini dengan idealisme mengenai Allah yang sempurna dan manusia mesti sempurna seperti Allah itu, lupa bahwa dia bukan Allah.
Kesempurnaan manusia tidak terletak pada keidentikannya dengan Allah, melainkan pada perwujudan identitasnya sebagai citra alias gambaran Allah tadi. Nalarnya begini. Kalau Guru dari Nazareth itu menyebut Allah sebagai Bapa dan manusia adalah anak-anak-Nya, menjadi sempurna berarti merealisasikan identitas manusia sebagai anak-anak Allah tadi. Perkara ia tidak persis plěk dengan bapaknya, memang bukan itu poinnya. Malah bahaya dong kalau anak persis plěk dengan bapaknya, bisa-bisa ibunya salah manggil.🤣 Yang penting ialah si anak mengupayakan hidupnya senantiasa menguak identitasnya sebagai anak Allah: yang tidak mendendam dan senantiasa memperluas kategori sesama.
Oleh karena itu, kalau seseorang (pas lagi) beriman (tebal), ia berbuat baik bukan karena hukum resiprositas tadi. Bahkan, ia berbuat baik bukan demi ganjaran dari Allah, melainkan karena dengan begitulah ia menguak identitas sebagai anak Allah, sebagai insan kamil, sebagai arahat, atau apa deh istilahnya. Orang macam begini, kalau mendapat perlakuan tidak adil, tetap melawan ketidakadilannya tetapi tidak membalaskan penderitaannya kepada pelaku ketidakadilan itu. Yang begini ini cuma mungkin kalau orang punya pengalaman dicintai Allah dan terkobarkan untuk meneruskan cinta itu tanpa terhambat oleh apa saja yang membuatnya susah move on.
Tuhan, mohon rahmat untuk bertekun menyalurkan cinta-Mu tanpa sekat ciptaan kami sendiri. Amin.
SELASA BIASA XI A/2
17 Juni 2020
Selasa Biasa XI B/2 2018: Ampunilah Cinta
Selasa Biasa XI C/2 2016: Perluas Batas Sesama
Selasa Biasa XI A/2 2014: Doakanlah…
Categories: Daily Reflection