Sedekah

Dalam KBBI, salah satu definisi kata sedekah berbunyi begini: pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat dan zakat fitrah sesuai dengan kemampuan pemberi. Ini mirip dengan kata derma yang dalam KBBI didefinisikan begini: pemberian (kepada fakir miskin dan sebagainya) atas dasar kemurahan hati; bantuan uang dan sebagainya (kepada perkumpulan sosial dan sebagainya). Konon, kata derma berasal dari bahasa Sansekerta (dharma: amal saleh, laku benar), sedangkan sedekah adalah serapan dari bahasa semitik (צדקה). Entah kata mana yang diambil, sudah umum bahwa orang mengasosiasikannya dengan tindakan memberikan sumbangan kepada mereka yang miskin, berapa pun besar sumbangan itu. Maka, orang beragama biasanya tergerak untuk menyisihkan sebagian dari yang mereka punya untuk diberikan kepada orang miskin, entah ini sifatnya sukarela atau wajib.

Teks bacaan hari ini menyodorkan saran Guru dari Nazareth supaya kalau orang bersedekah, ia melakukannya secara tersembunyi. Saya mengertinya masih dalam konteks dunia baru yang dipromosikan Guru dari Nazareth ini, suatu dunia yang dikontraskannya dengan apa yang dibuat oleh para pemuka agama pada zamannya. Mereka berlomba-lomba melakukan apa yang dipandang baik oleh masyarakat dan tanpa rikuh pakewuh menunjukkannya, termasuk sedekah tadi. Itu persis karena sedekah mengalami reduksi makna. 

Guru dari Nazareth tidak menginginkan para muridnya mereduksi makna sedekah semata sebagai menetesnya begitu banyak receh di benua Afrika dari trilyuner benua Amerika. Sebaliknya, beliau mengharapkan siapa saja yang hendak masuk ke dalam Kerajaan Allah membangun dunia yang tidak lagi membutuhkan sedekah dalam arti reduktif tadi. Maksudnya, orang tak perlu berkoar-koar mengenai berapa persen donasinya diberikan kepada orang miskin, tetapi diam-diam mengusahakan supaya di dunia ini tercipta struktur yang membuat donasi itu semakin tidak lagi diperlukan. Kapan donasi itu tak diperlukan lagi? Ya ketika keadilan sosial berhasil diwujudkan. Persis itulah makna sedekah yang sebenarnya: keadilan.

Dengan kata lain, para murid Guru dari Nazareth ini mestilah membangun dunia baru, Kerajaan Allah, ukhuwwah islamiyyah, yang mencerminkan relasi antarmanusia yang berkeadilan. Dalam dunia seperti itu, tak dibutuhkan lagi zakat atau derma karena setiap orang sudah mendapatkan keadilan. Ini bukan keadilan sosial dengan ukuran material yang biasanya dimengerti sebagai keadaan di mana setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya. Siapa yang menentukan hak orang, jal

Keadilan Allah mengandaikan pengakuan bahwa hidup ini adalah milik Allah, dan manusia mesti menatanya supaya milik Allah itu menjangkau kebahagiaan semua makhluk. Itu tak bisa terjadi kalau orang tak beraskese (puasa), tak berdoa, dan tak mau berderma. Celakanya, kalau tiga hal itu dipertontonkan (bagaimanapun wujudnya), orang jatuh pada kriteria keadilan manusiawi lagi, yang sifatnya senantiasa sementara dan punya ‘risiko’ mendapat pujian manusiawi. Loh, pujian manusiawi kok risiko sih, Rom? Lha iya, mosok risiko genderuwi?
Itu disebut risiko karena bertendensi menjadi godaan bagi orang untuk hidup menurut apa yang dilihat manusia lebih daripada apa yang dilihat Allah.

Tuhan, mohon rahmat kerendahhatian dan kemurahan hati untuk mewujudkan keadilan-Mu. Amin.


RABU BIASA XI A/2
17 Juni 2020

2Raj 2,1.6-14
Mat 6,1-6.16-18

Rabu Biasa XI B/2 2018: Yang Esensial
Rabu Biasa XI A/1 2017: Menjual Diri

Rabu Biasa XI C/2 2016: Ekshibisionisme Agama
Rabu Biasa XI B/1 2015: Puasa Oh Puasa
Rabu Biasa XI A/2 2014: Vanity, Target Orang Muna’