Fratelli Tutti, tulisan Paus Fransiskus mengenai persaudaraan dan persahabatan kiranya memberi insight untuk memaknai perkara kerakyatan. Dalam bahasa Italia dipakai kata popolo (aksen pada pada silabus pertama) yang erat terkait dengan adjektiva popolare (populer) dan populis. Menurut KBBI daring, populis berarti terkait dengan rakyat kecil, dan populisme berarti menjunjung tinggi hak dan keutamaan orang kecil.
Anda tahu, kalau sudah ada tambahan -isme, orang perlu awas supaya tidak jatuh dalam pemberhalaan: seakan-akan apa saja yang berkenaan dengan rakyat (kecil) adalah suatu keutamaan yang wajib dibela mati-matian. Dalam keadaan itu, rakyat atau pejuang rakyat (kecil) bisa tertipu koruptor yang memakai alasan populis dan mereka yang menyematkan emblem wakil rakyat. Kenapa? Karena sesungguhnya “rakyat” tidak bisa diklaim oleh segelintir pihak.
Gereja Katolik hari ini memperingati seorang uskup Milan, Ambrosius, yang hidup pada abad ke-4 dan jadi uskupnya karena aklamasi “suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi vox Dei). Padahal, seingat saya, dia belum dibaptis; tapi ya itu tadi, karena suara rakyat adalah suara Tuhan, mau gimana lagi.🤣
Justru di situlah persoalan yang ditunjuk Paus Fransiskus mengenai kerakyatan. Kata “rakyat” tidak merujuk pada benda statis yang bisa dikalkulasi dengan logika (matematika), tetapi pada kumpulan individu yang berelasi sangat dinamis dalam proses “mimpi bersama” untuk membangun dunia hidup mereka. Pepatah vox populi vox Dei tadi adalah contoh kategori mistik yang menempatkan “rakyat” sebagai representasi Tuhan. Kategori itu sebetulnya juga bisa sewenang-wenang, seperti dalam kasus Ambrosius tadi. Baru jadi tidak sewenang-wenang kalau seluruh pihak yang menjadi bagian dari “rakyat” tadi bersepakat menerimanya sebagai suara Allah. Ambrosius memang kemudian memasukkan dirinya dalam bilangan “rakyat” tadi. Alhasil, semua bisa menerima “mimpi bersama” sebagai “rakyat” tertentu.
Nuansa kolektivitas juga ada dalam narasi penyembuhan hari ini. Orang lumpuh bisa menjangkau Guru dari Nazareth karena jasa empat sahabatnya. Mereka tentu punya “mimpi bersama” bahwa yang lumpuh itu sembuh. Mimpi itu diperkaya dengan agenda Guru dari Nazareth: bukan cuma kesembuhan fisik yang diperhatikannya, melainkan juga kesembuhan jiwa, yang lebih langgeng, yang éling akan identitasnya sebagai “rakyat” Allah. Maka, di tengah keyakinan kolektif bahwa sakit adalah bentuk hukuman Tuhan, Guru dari Nazareth menegaskan bahwa siapa pun yang datang kepada Allah, membawa disposisi tobat, dan tak akan ditolak-Nya.
Tuhan, mohon rahmat keterpautan hati pada-Mu dalam membangun “mimpi bersama” demi dunia yang lebih baik bagi semua makhluk-Mu. Amin.
SENIN ADVEN II
Pw S. Ambrosius
7 Desember 2020
Posting 2018: Gampangan Salin Tempel
Posting 2017: Dimakan Sendiri
Posting 2016: Mengampuni Konsep
Posting 2015: Pernah Lumpuh?
Categories: Daily Reflection