Nyatanya Gimana

Baru belakangan ini saya ngeh bahwa penulis Injil Lukas tampaknya mengesampingkan kenyataan historis untuk menyodorkan keyakinan teologisnya. Saya tidak merasa tertipu sih, karena saya juga gak peduli-peduli amat dengan kenyataan historisnya bagaimana. Kalau mau tahu persis kenyataan historisnya gimana ya cari saja teks lain atau cari mesin waktu dan pindah ke masa awal Masehi itu. Saya lebih kepo pada keyakinan teologisnya, entah kemudian saya terima atau saya tolak.

Dalam teks tersirat bahwa Lukas menggabungkan tradisi sunat dengan pemberian nama (yang konon sebetulnya dilakukan pada saat kelahiran, bukan delapan hari setelah kelahiran). Sunat memang momen inisiasi bagi bayi sebagai bentuk pengakuan dirinya menjadi bagian umat Israel yang punya perjanjian khusus dengan Allah. Akan tetapi, karena ritus sunat ini digabungkan dengan pemberian nama, perkara nama ini jadi penting, bukan sekadar wujud pengakuan bapak terhadap anak yang baru lahir.

Dalam perkara nama ini juga, penulis Lukas mengabaikan kebiasaan orang Yahudi yang memberi nama seorang anak seturut nama kakek, bukan nama ayah. Akan tetapi, dalam teks dituliskan bahwa orang-orang hendak menamainya Zakharia seturut nama bapaknya. Elisabet pun mengoreksi. Namanya [bukan Zakharia, melainkan] Yohanes. Lha, di sinilah antara lain pesan teologis yang hendak disampaikan Lukas.

Kata yang jadi asal nama Zakharia itu konon ratusan kali disebut dalam teks kuno, yang artinya (Tuhan) mengingat (akan perjanjian-Nya dengan Abraham). Kenapa kok Lukas menunjukkan bahwa Zakharia tak dipakai lagi? Justru karena nama itu dari dulu dipakai untuk meyakinkan orang Israel bahwa Tuhan ingat akan perjanjian-Nya! Kata Lukas: sekarang cukuplah dengan nostalgia itu; kita mesti melihat keadaan nyata bagaimana kesetiaan Allah, perjanjian Allah, ingatan Allah itu terjadi dalam aktualitas hidup orang. Maka dari itu, nama yang disematkan kepada anak baru itu adalah Yohanes, yang artinya kurang lebih Allah telah mengaruniakan rahmat, menyatakan kebaikan-Nya. Bukan lagi mengingat janji Allah yang penting, melainkan melihat realisasi janji-Nya.

Akan tetapi, di akhir teks dipersoalkan bakal jadi apa anak baru ini kelak; dan Anda tahu di mana Yohanes mendewasakan hidupnya: padang gurun! Ini sangat simbolik terhadap bagaimana Israel dididik Allah. Padang gurun, sebagaimana pandemi, mengundang orang untuk senantiasa mencari dan mengenali mana yang esensial. Tak satu momen pun bisa jadi alasan orang untuk berhenti dan menganggap capaiannya sebagai yang esensial (dan orang jatuh pada esensialisme). Padang gurun adalah momen detachment, bukan karena capaian-capaiannya tidak penting, melainkan karena capaian itu hanyalah stepping stone untuk mengalami perjumpaan sejati dengan janji Allah.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati supaya hidup kami boleh jadi realisasi janji keselamatan-Mu. Amin.


HARI KHUSUS ADVEN
23 Desember 2020, Rabu

Mal 3,1-4;5,5-6
Luk 1,57-66

Posting 2019: Gembira Kenapa?
Posting 2017: What’s Your Name?
Posting 2016: Belum Telolet Juga

Posting 2015: Game Over

Posting 2014: Apa Nama Sebuah Arti?